ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Monday, February 11, 2008

Soeharto di Mata Pers

Hari Minggu, 27 Januari, tepat pukul 13.10 Wib, dokter kepresidenan Republik Indonesia (RI) mengumumkan secara resmi wafatnya mantan Presiden RI, H. Muhammad Soeharto. Setelah kurang lebih tiga minggu soeharto tergeletak tak berdaya di rumah sakit Pertamina Jakarta, akhirnya hari itu juga Soeharto tutup usia yang ke-87 tahun. Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un. Tak lama kemudian Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) didampingi wakil presiden Yusuf Kalla, mengumumkan hari berkabung nasional selama 7 hari, atas wafatnya putra terbaik bangsa Soeharto.

Pada hari itu, hampir semua media elektronik tak henti-hentinya memberitakan perkembangan terbaru pasca wafatnya Soeharto. Rumah persemayaman di jalan Cendana dipadati handa taulan, kerabat dan warga yang ingin melihat secara langsung jasad terakhir Soeharto. Bahkan pagi harinya, ketika proses keberangkatan ke Solo, warga juga tampak antusiasme melihat secara langsung iring-iringan mobil jenazah soeharto. Almarhum akan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, pemakaman yang sudah dipersiapkan bagi keluarga Seoharto. Bisa dipastikan Jakarta macet total pada saat itu karena dipadati ribuan manusia yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada mantan presidennya. Padahal, pada hari itu bukan hari libur nasional, bisa dibayangkan bagaimana jadinya, jika prosesi pemakaman soeharto bertepatan dengan hari libur.

Dari peristiwa yang baru saja diuraikan di atas, ini menujukkan bahwa masyarakat Indonesia masih bersimpati dengan mantan presiden RI ke dua, Soeharto. Sebenarnya, kepergian Soeharto menghadap sang khalik sudah bisa diprediksikan public sejak hari pertama beliau dirawat di RS pertamina. Kondisi kesehatan beliau ketika itu naik turun. Bahkan terakhir mengalami penurunan yang cukup drastic. Hanya tinggal menunggu waktu yang telah digariskan Sang Pencipta.

Semua media menampilkan kilas balik semasa hidup beliau. Ada yang menyanjung selama kepemimpinannya, ada yang membantai tiada ampun, namun ada pula yang arif dan bijak memberikan maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya selama ia memimpin negeri ini. itulah memori rakyat ketika Soeharto memimpin selama 32 tahun RI. Namun dari sekian banyak kilas balik tentang Soeharto di semua media elektronik, ada yang membuat saya tertarik mendengar kesaksian yang ditayangkan liputan 6 sore SCTV, yang bertajuk In Momeriam Pak Harto, ia seorang jurnalis kepresidenan di era Soeharto. Ia bernama Linda Djalil. Ia mengisahkan selama bertugas di Istana kepresidenan, insan pers ditempatkan sebagai manusia berkelas tiga.

Menurutnya, ketika itu tak satupun wartawan berani menjulurkan tape recordernya dengan lantang dihadapan presiden. Pernah satu ketika Soeharto di demo di negara Jerman, namun tak satupun wartawan berani menanyakan bagaimana perasaan beliau yang di hina di negara orang. Padahal soeharto memberi kesempatan pada wartawan untuk bertanya. Rasa takut dan segan terhadap sosok soeharto pun tampak dari menteri-menteri eranya ketika itu.

Tidak ada istilah wartawan sejajar dengan narasumbernya ketika itu, tidak seperti sekarang, presiden sekalipun bebas kita kuliti selagi masih berdasarkan data dan fakta. Ketika itu, wartawan dianggap manusia yang tak berarti. Bahkan perlakuan yang sama pun didapatnya dari kurawa-kurawa soeharto, dari sopir sampai tukang cuci piringnya pun memperlakukan wartawan tidak baik ketika itu. ia juga mengisahkan pernah suatu ketika para wartawan di undang pada acara buka puasa di kediaman keluarga cendana, apa yang didapat? Para wartawan yang meliput mendapatkan kue kotak yang didalamnya sudah dikermuni semut. “Inilah akibat contoh yang tidak baik, sampai kurawa-kurawanya saja ikut memperlakukan kami seperti binatang,” kata Linda, suaranya terdengar begitu geram. Padahal pers merupakan ujung tombang bagi sebuah bangsa.

Ingatan itu sepertinya begitu melekat dan sulit dilupakan dari ingatan Linda dan rekan-rekan jurnalis lainnya. Bagaimana bisa lupa? selain dibungkam, pers juga diperlakukan tidak manusiawi. Itulah sekelumit cerita dari kekejaman seorang Soeharto, masih banyak cerita sedih lainnya, sepertinya jika didokumentasikan akan banyak cerita yang akan terus menghakimi Soeharto dan kelurganya yang semakin hari, semakin tidak memiliki kekuatan apapun untuk membungkam rakyat-rakyatnya.

***

Hari-hari terakhir hidupnya, Soeharto meninggalkan persoalan hukum yang belum sempat ia selesaikan. Persoalan yang merugikan asset negara hingga mencapai triliunan rupiah tersebut menimbulkan kontroversi. Ada yang menghendaki Soeharto terus diadili, ada pula yang menghendaki kasus Soeharto diputihkan saja. Secara pribadi, saya menghendaki kasus hukum Soeharto terus di usut hingga betul-betul menemui titik terang. Persoalan yang merugikan banyak orang ini, nantinya tidak akan berhenti sampai di dunia saja. Ada pengadilan yang lebih agung dan maha adil kelak. Kesaksian di sana tidak akan terbantahkan.

Maka dari itu, pengusutan perkara Soeharto di dunia sesungguhnya membawa kebaikan bagi Soeharto dan keluarganya. Artinya, hukum dunia membantu meringankan hukum akhirat. Dan terpenting adalah, negara kita sudah memberlakukan hukum yang adil pada siapapun tanpa pandang bulu. Dengan begitu, penguasa yang akan datang berpikir dua kali lipat untuk melakukan kesalahan yang sama. Kalaupun kasus Soeharto memang harus diputihkan, sekurang-kurangnya ada pengakuan dari pihak keluarga Soeharto dan membenarkan atas kesalahan yang telah diperbuat oleh ayah mereka dan kroni-kroninya. Sukur-sukur, kekayaan negara yang pernah diakuinya dikembalikan ke kas negara. Tapi rasanya mustahil.

Sekarang Soeharto sudah menghadap Ilahi, persoalan yang belum terselesaikan semoga bisa terselesaikan dengan arif dan bijaksana baik dari keluarga maupun penyelenggara hukum negeri ini. Bantu pahlawan kita dengan cara memberikan kesaksian yang jujur. Dan tepatkan diri kita pada titik nol. Dengan begitu, kita sebagai warga negara sudah meringankan ia dalam melaporkan pertanggungjawabannya sebagai pemimpin negeri ini kepada sang Khaliq. Selamat jalan pahlawan ku, semoga pengabdianmu dalam membangun bangsa ini diterima oleh Allah SWT. Terima kasih atas segalanya.[]

Eni Muslihah

Dimuat di Harian Lampung Post

0 komentar: