ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Thursday, August 26, 2010

SBY: Jangan Sampai Kau Menyesal

Jumat (27-08), adalah hari ke 17 kita melaksanakan ibadah puasa. Banyak persoalan yang bermunculan pada pertengahan Ramadan kali ini, selama kita mengikuti perkembangan pemberitaan. Dari persoalan kenaikan harga Elpiji gas 3 kilogram pada minggu awal September, permasalahan cuaca yang menyebabkan sejumlah ruas jalan tak kunjung siap menghadapi arus mudik lebaran 2010, masalah perampokan disejumlah pertokoan dan bank, serta permasalahan harga diri Bangsa Indonesia yang kian hari kian berani saja Negara Malaysia menantang Indonesia (kalau dalam judul besarnya Metro TV pada bab ini diberi judul Malaysia menantang. He..he..he judul yang benar-benar membuat mata dan telinga ini memerah serta menghenduskan asap dari hidung dan telinga).

Pada Tulisan kali ini saya akan menyoroti permasalahan Malaysia yang ternyata kalau diperhatikan beberapa dekade terakhir ini, semakin berani saja menunjukkan perlawanannya pada bangsa kita. Berdasarkan catatan, Indonesia telah mengajukan 9 kali surat teguran pada Malaysia, namun tak satu pun teguran-teguran itu di gubris atau direspons dengan baik oleh pemerintahan Malaysia. Sungguh terlalu.

Beberapa waktu lalu, Malaysia berulah mengklaim beberapa budaya kita sebagai budaya bangsanya, Kali ini, Pemerintah Malaysia menjatuhkan vonis hukuman mati pada 177 Warga Negara Indonesia yang ada di sana. Berdasarkan informasi yang berkembang, WNI ini kedapatan telah mengedarkan narkoba di negeri Jiran tersebut. Menurut informasi dari Kepala Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), permasalahan narkoba di Malaysia memang penanganannya cukup serius. Mereka tidak tebang pilih. Jangankan orang Indonesia wong sebangsa mereka sendiri juga, kalau memang kedapatan mengedarkan atau memakai narkoba maka vonis matilah hukumannya.

Okelah, kita tidak perlu mempersoalkan bagaimana keseriusan Malaysia dalam memberantas kasus narkoba (walaupun sejujurnya kagum, tapi rasa itu untuk sementara waktu disimpan saja dulu). Yang terpenting bagi kita saat ini, bagaimana ke 177 WNI bisa tertangani dengan cepat dan tuntas. Soal benar-salah itu urusan belakangan, toh beberapa kali mereka juga berlaku kurang ajar sama negara kita, baru juga persoalan narkoba.

Ntah apa alasan pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyo (SBY) belum juga punya sikap yang tegas terhadap pemerintahan Malaysia. Padahal, melalui perdana menterinya mereka sudah nyata-nyata menentang Indonesia. Mengatakan bahwa Indonesia sudah kelewat batas, karena telah berunjuk rasa dalam negeri Indonesia dengan menginjak-injak bendera kebangsaan mereka. Sesungguhnya, sikap itu, adalah akumulasi kekesalan rakyat Indonesia terhadap pemerintah Malaysia yang berlaku kurang ajar pada kita.

Bapak Presiden yang terhormat, kenderang perang sudah tertabuh. Seluruh prajuritmu telah siap siaga membela negeri pertiwi ini. Tidak ada alasan untukmu banyak pertimbangan untuk menentukan sebuah keputusan. Kita harus punya sikap yang tegas dalam memperjuangkan nasib rakyat Anda. Ketahuilah, bahwa Malaysia juga sudah mengeluarkan warning traveling ke Indonesia. Ini menunjukkan sebuah penghinaan bangsa lain terhadap bangsa kita. Bapak harus punya sikap konkrit, bahwa kita punya harga diri. Tarik semua TKI dari Malaysia dan putuskan hubungan diplomatis dengan mereka. Jangan khawatir soal pemasukan dari pahlawan devisa kita, toh masih banyak negara lain yang mau menampung TKI kita dengan cara yang jauh lebih terhormat.


Sebagai catatan saja bapak, penduduk bangsa kita jauh lebih besar dari Malaysia, Tentara dan peralatan perang kita pun jauh lebih tangguh dari pada milik Malaysia. Secara gografis wilayah Indonesia juga jauh lebih luas. Kalau dilihat secara kwantitas dan hitung-hitungan matematis, Indonesia pasti akan menang. Dan secara moral, pantas kok buat kita membela diri bila ada negara lain yang mengganggu kenyamanan bangsa lainya. Dasar kita sudah cukup kuat untuk mempertahankan harga diri bangsa ini.

Dan sebagai masukan untuk dijadikan dasar pertimbangan saja, manakala kita akan mengirimkan kembali tenaga kerja di negara lain. Bahwa India, Vietnam, Philipina adalah negara lebih miskin dari Indonesia. Sama halnya dengan negara kita disana, banyak sekali pengemis bertaburan, para pengemisnya tidak segan-segan menghilangkan satu anggota tubuhnya untuk mendapat belas kasihan orang lain. Meski demikian, tidak ada dari negara itu yang mengirimkan tenaga kerjanya untuk dijadikan pembantu rumah tangga di negara lain.

Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki citra diri. Kita akan dihargai bangsa lain manakala kita sendiri menghargai diri sendiri. Tak selamanya sopan santun dan tepo seliro dipandang baik oleh negara lain. Adakalanya kita harus garang dan adakalanya pula kita harus berlemah lembut. Jangan sampai Selama dalam kepemimpinan bapak (SBY), Anda selalu terlambat mengeluarkan sebuah keputusan yang sifatnya mendesak. Penyesalan Anda dibelakang tidak akan merubah keadaan.

Terima Kasih..

Wednesday, August 4, 2010

Anak Bangsa Yang Merindukan Sejatinya Kemerdekaan

17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka, Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia

Merdeka...Republik Indonesia ke-65 tahun..berjayalah..

Penyambutan hari kemerdekaan tinggal hitungan hari. Penyambutan kemerdekaan kali ini berbarengan dengan penyambutan bulan suci umat Islam. Pernak-pernik penyambutan hari kemerdekaan nampaknya dari tahun ke tahun semakin melemas saja. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hari kemerdekaan memang terkalahkan dengan kedatangan bulan Ramadan yang jatuh pada tanggal 11 Agustus jika perhitungan Hilal tidak meleset, sehingga perhatian masyarakat terpusat kesana. Atau apakah rasa kebangsaan generasi sekarang mulai agak pudar.

Dua asumsi ini ternyata menyebabkan pedagang musiman bendera tidak merasakan kejayaan mereka manakalah hari kemerdekaan itu kelak kan tiba. Angkat saja kisah dari seorang pedagang musiman bendera yang berasal dari Bandung. Dalam satu rombongan ada tujuh orang, mereka mengotrak di depan rumah saya, mereka resmi mengotrak sekitar minggu ke dua bulan Juli. Minggu pertama kehadiran mereka, ibuku kebanjiran order membuat kopi dan gorengan (jadi pedagang dadakan juga). Dalam sehari mereka bisa memesan kopi 3 sampai 4 kali plus gorengan.

Semakin hari, pesan antar itu kian meredup. Suara pemesan kopi pun semakin sumbang. Sebelumnya mereka cukup teriak "Bu, Kopi dan gorengan tujuh ya"..Mendengar teriakan dari pemesan, ibuku pun bergegas ke dapur menyiapkan segala kebutuhan sang pemesan. Ibuku tidak merasa keberatan memenuhi permintaan sang pembeli, karena rombongan ini cukup pandai menyenangkan penjual. Mereka selalu bayar kontan setelah kebutuhan mereka terpenuhi. Begitu seterusnya rutinitas pagi, sore dan malam kegiatan baru ibundaku.

Semakin hari,teriakan itu semakin berkurang saja bunyinya. terkadang hanya sekali atau bahkan tidak sama sekali. Yang semula memesan kopi plus gorengan sekarang gorengan tak terdengar. Bahkan, mereka cenderung berhutang.

Usut punya usut melalui pendekatan sebagai seorang tetangga akhirnya mereka pun berterus terang. Dagangan berkarung-karung yang mereka bawa dari negeri kembang ternyata belum menunjukkan hasil yang baik. Tono (pemimpin rombongan) mengaku, dalam sehari terkadang belum tentu benderanya laku terjual. Hal senada pun dikatakan oleh rekan lainnya yang satu rombongan. Tujuh orang ini tersebar di sekitar Jalan Ahmad Yani, Diponegoro dan Antasari. Kesemuanya bernasib sama.

Mereka merupakan pedagang musiman bendera. Menjajakan bendera saat peringatan 17 Agustus bukanlah kali pertamanya. Tahun ini merupakan tahun ke empat, mereka menunjuk Lampung sebagai daerah sasaran, karena di Lampung mereka rasa prospeknya bagus. Setiap tahun sebelumnya, bendera yang mereka jual selalu ludes tak tersisa. Mereka pulang dengan tangan kosong dari barang. Rupiahlah yang menebal di dompet dan saku-saku mereka. Penuh dengan keceriaan saat mereka datang kembali ke kampung halaman.

Tapi kali ini nasib mereka tidak sama dengan tahun kemarin. Mungkin hal sama pun dirasakan oleh pedagang musiman bendera lainnya. Pulang dengan kemurungan atau bahkan mendapat semburan pedas dari pasangan mereka yang menanti dengan penuh harapan.

***

Saat penulis menuangkan apa yang dirasakan oleh pedagang musiman, kalender masehi bergeser ke tanggal 5 Agustus. Kemeriahan atau antusiasme masyarakat Lampung dalam menyambut hari kemerdekaan RI belum terasa. Sudut-sudut rumah belum juga mengibarkan sang merah putih yang diperjuangkan oleh pahlawan kita dengan keringat, air mata dan darah. Perjuangan yang tidak main-main. Tapi kini, 17 Agustus semakin tahun semakin kurang sakral saja. Terkesan hanya seremonial saja. Rasanya semakin kurang saja, orang tua-orang tua kita menceritakan bagaimana nenek moyang dulu merebutkan bangsa ini..

Penulis jadi teringat semasa kecil dulu. Guru Sekolah Dssar (SD) selalu menceritakan bagaimana ia dahulu hidup sulit di zaman penjajah. Pakaian ala kadarnya dengan karung goni dimana karung itu sangat gatal kalau digunakan, maka tidak jarang orang dahulu terserang penyakit gatal. Baju itu terpaksa digunakan karena yang terpenting menutup sebagian tubuh mereka. Belum lagi mereka harus bekerja paksa, tenaga mereka digunakan secara terus-terusan tanpa harus dapat asupan yang memadai.

Penderitaan orang terdahulu ber abad=abad, akhirnya menuai hasil. Indonesia merdeka dari tangan penjajah. Belanda dan Jepang pun akhirnya menarik pasukan dari Bumi Pertiwi ini. Kita merdeka karena ada sebuah kesungguhan, ketulusan dan kekompakan untuk memerdekakan Bumi Indonesia dari penjajah. Itulah nilai yang pantas diraih oleh orang terdahulu kita.

***

Penderitaan yang dirasakan oleh orang terdahulu ternyata hingga saat ini belum berakhir. Secara fisik Indonesia memang merdeka, 65 tahun Indonesia sekarang merdeka, tapi apakah kemerdekaan itu benar-benar merdeka? atau sesungguhnya aura-aura penjajahan di negeri ini masih berlangsung?

Sampai sekarang Indonesia masih di jajah oleh tahta dan kekuasaan. Dengan kekuasaanlah semua bisa di beli, termasuk hukum pun bisa di beli oleh orang-orang berkepentingan. Perkara hukum besar yang mana sih yang bisa terselesaikan sampai menimbulkan efek jera pada pelakunya? Sekalipun dia pejabat penting. Siapa yang kuat dia lah yang berkuasa. Yang miskin makin melarat yang kaya makin menjulang tinggi kekayaanya. Ketimpangan ekonomi yang selalu disorot dalam negeri ini.

Dari tahun ke tahun umur kemerdekaan kita terus bertambah. Upacara demi upacara, seremonial kemerdekaan pun terus terlaksana, tapi adakah kita mengambil pelajaran dari kemerdekaan itu sendiri? Semuanya terlewatkan begitu saja. Indonesia masih belum merdeka. Sama halnya nasib bangsa ini seperti pedagang musiman bendera yang penulis ceritakan di atas, melewati kemerdekaan ini dengan kemanyunan tidak dengan keceriaan yang diharapkan.

Dirgahayu Indonesiaku..