ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Sunday, November 7, 2010

Nuril Terlahirkan, Misran Pergi

Tahun 1984 silam, di malam yang gelap gulita, penerangan listrik belum masuk ke desa Sekampung Udik, sepasang suami-istri membawa obor mendatangi bidan kampong. Seorang lelaki menggedor pintu rumah dinas Jamilah yang merupakan bidan kampong. Tok.tok.tok.. “Bu bidan, buka pintunya, istri saya mau melahirkan,” Misran suami Maimunah terus menggedor pintu rumah bidan itu.. Bidan Jamilah satu-satunya bidan yang ditugaskan di Desa Sekampung Udik kala itu. Bidan Jamilah mulai bertugas sejak tahun 1980-an, dapat dipastikan kala itu para wanita sudah terbuka dengan dunia kebidanan berkat kegencaran Jamilah dalam menyosialisasikan dunia kesehatan secara medik, hampir setiap hari bidan Jamilah yang diperbantukan sejumlah perangkat desa menyosialisasikan program yang dicanangkan oleh pemerintah. Yah, program Keluarga Berencana (KB).

Program mengatur jarak kelahiran dan membatasi jumlah anak dalam keluarga kala itu memang bergerak cukup gencar. Berbagai cara dilakukan para bidan dan dokter untuk mencerahkan pemikiran para wanita kampong Sekampung Udik. Selain diberi pengetahuan kesehatan melakukan persalinan di bidan, warga juga diberi berbagai hadiah jika mereka melakukan persalinan di bidan.

Mainah sendiri tergolong orang yang mempercayakan keselamatan bayi dan dirinya kepada bidan. Berapapun biaya persalinan, Maimunah tidak merasa keberatan membayarnya.

“Tepat tanggal 4 Maret 1984, aku melahirkan putra bungsuku, dia ku beri nama Nuril Huda yang berarti (….)”

Maimunah mempunyai enam anak. Anak pertamanya bernama Sri Handayani, kemudian Sugeng Purnama, Nurmala, Elly Humairah, Kholiq dan Nuril Huda.

Empat hari kemudian,,

Azan kumandang subuh sayup-sayup terdengar dari Musolla Albalaq, Be’ Munah terbangun dari tidurnya, dilihatnya bayi yang baru dilahirkannya empat hari lalu tertidur pulas. Be’ Munah tersenyum melihat bayi mungil yang berada disampingnya, rasa sakit melahirkan seakan lenyap ketika melihat buah hatinya.

Be’ Munah menoleh kea rah jam wekernya, waktu menunjukkan pukul 05.00 wib. Perlahan Munah menurunkan kaki dari amben biru yang terbiat dari besi. Rasa sakit setelah melahirkan bukan baru pertama itu dirasakan, Munah telah merasakan enam kali, namun rasa sakit itu tidak membuatnya jera untuk melahirkan. Perempuan manapun akan merasa bahagia dapat merasakan sakitnya melahirkan, karena rasa sakit itu adalah anugerah Tuhan dan menujukkan sejatinya seorang perempuan. Tidak ada hal yang paling membanggakan dari seorang perempuan kecuali ia telah merasakan sakitnya melahirkan.

Kedua kaki Maimunah telah turun dan tubuhnya menepi dari amben besi itu. Munah melongokkan wajahnya ke bawah, didapatinya tubuh Misran tertidur dengan posisi tangan kanan merangkul kedua matanya. Misran tertidur pulas, hingga kumandang azan yang bersautan tak didengarnya lagi.

Sayup-sayup suara lembut Maimunah membangunkan suaminya “Pak, bapak,, bangun sudah subuh,”
Misran tak mendengarkan suara seruan istrinya. Lelaki keturunan jawa itu terus tertidur. Munahpun mengulangi seruannya. “Pak,pak, tangi wes subuh,”.. Misran baru tersadar dan langsung menyaut “eh” menandakan bahwa Misran mendegar seruan istrinya, meskipun posisi merangkul mata dengan tangannya belum berubah.

Singkat cerita, pagi itu burung-burung berkicau, matahari sedikit-sedikit mulai Nampak menyinari bumi, udara dingin diperkampungan begitu begitu segar saat dihirup. Seperti biasa setelah membersihakan diri dan bayinya Munah membawa Nuril mungilnya keluar untuk mendapatkan sengatan sinar matahari pagi. Sementara Misran, mengurus ke lima anaknya yang lain dan membantu pekerjaan rumah Munah yang tidak sempat lagi tertangani pasca melahirkan.

Belakangan Misran memang jarang keluar rumah, usaha kerupuk yang dikembangkan di Pugung Raharjo 5 tahun lalu tidak lagi berkembang secara baik. Misran lebih banyak di rumah, sementara untuk memenuhi kebutuhan keluarga Misran tidak mau ambil pusing, sedikit-sedikit peralatan pruduksi krupuk ia jualnya hingga benar-benar habis tak tersisa.

Misran bingung dengan kondisi yang kian sulit. Kebutuhan keluarga terus berjalan, termasuk kebutuhan biaya sekolah. Munah sering mendapati suaminya menyendiri di sudut dapur, menyilangkan kaki dan mengepulkan asap rokok. “ehem..” Munah memecah lamunan suaminya, “Mikiri opo to pak?” Tanya Munah, yang terus mendekat kea rah suaminya. Misran terkaget dan buru-buru mematikan rokok yang belum habis dia hisab. Misran tidak langsung menjawab pertanyaan Munah, dilihatnya Munah membawa bayi, Misran pun mengalihkan pertanyaan Munah “Ay..ay.. jagoan bapak,”… Munah menyerahkan bayi itu kegendongan Misran, Misran terus bermain-main dengan bayi kecilnya. “Bapak belum jawab pertanyaan saya tadi, bapak mikirin apa?” Munah mengulangi pertanyaannya. Miran langsung terhenti dari memainkan bayi mungilnya dan wajahnya mulai menujukkan keseriusan.

“Kakak-kakak Nuril sudah besar-besar ya Nah,”
“Semakin hari, usaha yang kita rintis bersama semakin tidak menujukkan hasil yang baik,”
“Kebutuhan hidup kita terus berjalan bahkan bertambah seiring bertambahnya anak kita,”
“Tapi coba kamu lihat, kakak semakin tidak jelas saja bagaimana memenuhi kebutuhan keluarga kita,”

Munah memperhatikan lekat mata suaminya, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakan lebih serius selain permulaan kata-kata yang baru saja ia dengarkan. “Maksud bapak?” Tanya Munah dengan penasaran. “Yah, aku tidak bias hidup begini terus, mungkin sudah waktunya juga kakak mulai merencanakan hal lain untuk memenuhi semua kebutuhan kita, andaikan kamu mengizinkan, kakak mau pulang lagi ke jawa, coba mengadu nasib lagi di sana. Mungkin ada rizki untuk membiayai kamu dan anak-anak kita”…

Munah terdiam tidak berkata sedikitpun atas rencana yang telah disampaikan Misran, mata Munah mulai berkaca-kaca dan tak terasa air matapun menetes dipipinya. Yang Munah tau, suaminya sangat jarang mencabut perkataannya, meskipun tidak mendapat persetujuan, suaminya akan tetap melakukan apa yang telah menjadi rencananya. Tanpa berbicara apa-apa Munah pun beranjak dari sisi Misran, Munah berlari membantingkan tubuhnya yang masih sakit itu ke tempat tidurnya dan menumpahkan kesedihan hatinya.

Sejak pembicaraan itu, rasanya hari-hari yang dilalui Munah terasa panjang. Munah dan Misran tak saling berbicara, hanya sesekali saja dan seperlunya saja untuk menutupi didepan anak-anak mereka. Misran semakin larut dipojokan dapur dan Munah pun pikirannya terus menerawang, tak terasa air susunya tertumpah dan membasahi wajah mungil Nuril. Menyadari airu susunya tumpah, Munah terburu-buru mengelap wajah Nurul dengan waslap hangat.

Apa yang menjadi keresahan Munah terbukti, Misran mulai mengemas beberapa baju yang akan dia bawa pergi. Sungguh Munah tak menyangka akan secepat itu. Misran menghampiri Munah dalam kondisi rapi, berkaca mata samar dan mengenakan topi coklat, di sebelah kiri tangannya Munah melihat suami dihadapannya menjinjing tas pakaian. “Munah, maafkan kakak ya, kakak harus pergi, ini demi kebaikan kita semua dan yakinlah, kakak akan segera kembali lagi,”… tangisan Munah tumpah kepelukan suaminya, bayi yang berada digendongan yang baru berusia 6 hari itu pun seolah merasakan kesedihan Munah, bayi itu menangis kencang. “Maafin Munah, kak.. Munah hanya belum siap ditinggal kakak, Nuril masih sangat kecil,”…Misran menjatuhkan tas jinjingnya dan memeluk erat istrinya, sesekali dia mencium kening Munah yang jatuh dipelukannya. “Huusss,” telunjuk Misran diletakkan dipermukaan bibir Munah…”Yakin sama kakak ya, kepergian kakak tidak akan lama, kakak segera beri kabar sesampainya kakak di sana. Kakak titip anak-anak ya, jangan ceritakan pada mereka kalau kakak pergi ke jawa. Andaikan mereka bertanya tentang aku, katakan pada mereka bapak pergi ke Karang sebentar”… Tangisan Munahpun semakin pecah, sesekali Munah menangguk-anggukan kepala menandakan bahwa akhirnya Munah pun setuju dengan keputusan Misran. Perlahan Misran melepas pelukan istrinya. Misran pergi.(Bersambung)