ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Monday, February 11, 2008

Badai Tak Kunjung Berlalu

CERPEN ENI MUSLIHAH


14 Januari 2008

Penulis lepas

Tinggal di Bandar Lampung

Namaku Fatimah, aku punya satu anak laki-laki dari hasil perkawinan dengan suamiku Yatman. Nama anakku Aziz, kini ia berusia 3 tahun. Aku bersyukur pada Allah SWT atas karunia suami dan anak yang telah diberikan kepadaku. Kami sekeluarga sangat bahagia, satu sama lain saling menghargai dan mengasihi. Usiaku lebih tua tiga tahun dari suami ku, tapi itu bukanlah persoalan bagi suami tercintaku.

Seiring berjalannya waktu, kebahagiaan itu tidak lagi ku rasakan, ketika suami ku mulai sakit-sakitan. Tepatnya dua tahun belakangan, ia di vonis dokter terserang penyakit kanker kelenjar leher. Ada benjolan dibagian leher, semakin lama semakin membesar. Dokter menyarankan kanker itu harus segera di angkat, jika tidak akan fatal bagi kesehatan suamiku. Saran dokter pun kami ikuti demi kesehatan suamiku. Usai operasi, suamiku masih harus menjalani kemoterapi lagi, untuk menggagalkan menyebarnya sisa-sisa kanker itu. karena menurut dokter, suami ku sudah mengalami stadium tiga.

Semakin lama kondisi suamiku semakin lemah. Pada titik tertentu ia harus berbaring di atas tempat tidur. Sementara, kebutuhan hidup terus bertambah. Untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari aku menggantikan peran suamiku sebagai kepala rumah tangga. Aku bekerja sebagai guru bimbingan belajar (bimbel). Dari pagi sampai malam aku sibuk dengan pekerjaanku, karena aku sangat menguasai dunia pendidikan, maka aku kerahkan semua ilmuku di sebuah lembaga pendidikan. Cukup terbilang lumayan, aku mendapat jatah mengajar 8 jam, dari rumah ke rumah. Setiap aku mengajar, Aziz ku titipkan pada ibuku, setelah aku selesai mengajar barulah pulang kerumah kontrakan dan mengurus kebutuhan suamiku.

Awalnya suamiku faham sekali dengan kesibukanku dalam menggantikan perannya, sesekali ia memandangku lekat. Seolah ada kata yang ingin disampaikan pada ku, tapi tak tersampaikan, air matanya mengalir. “Aku minta maaf bu, tidak bisa membahagiakan mu. Ayah bukan suami yang baik, tidak bisa menafkahkan istri dan anak lagi,” kata suamiku. Tak tertahan rasanya menahan emosi ingin menangis, butiran air mata pun menetes dan membasahi pipiku. “Ayah, suami ku yang baik, semua ini adalah kehendak Allah, Allah menguji kita lewat sakit ayah. Percayalah, suatu saat badai pasti berlalu,” kataku, sambil memijat kaki suamiku.

Begitulah rutinitas keseharianku. Cukup melelahkan. Selain bekerja, aku harus mengurus suami dan anakku. Sedikitpun aku tidak pernah mengeluhkan masalah ini pada suami atau keluarga. Hingga pada waktu tertentu, suamiku meminta ibu mertuaku tinggal bersama kami, untuk mengurusi kebutuhan suamiku yang semakin hari tidak berdaya.

Disanalah awal perpecahan keluarga kami. Sepekan pertama, gejala kehancuran rumah tangga kami kami mulai terlihat. Awalnya, suamiku menuntut supaya aku berhenti bekerja. Ia merasa kurang mendapat perhatian dari ku. “Tugas kamu mengurus suami, bukan keluyuran begitu,” kata suamiku, sambil bertolak pinggang menyambut kedatanganku dengan nada keras. Tidak biasanya ia bersikap aneh, mendengar perkataannya itu, jantungku langsung berdetak kencang. Tak menjawab sepatah katapun, aku langsung membawa anakku keluar, pulang ke rumah ibuku. Sepanjang jalan, aku memikirkan perkataan suamiku. Tapi aku berusaha mengevaluasi diri, kenapa suamiku tega bersikap demikian. “Ah.. aku ini sungguh istri tidak tahu diri, suami sakit, justru aku menambah jam pelajaran,” hati kecilku berkata. Aku berusaha mafhum dengan kondisi suami saat ini. Aku pun berfikir untuk mengurangi jam mengajar. Masalah yang baru saja menimpa, urung aku ceritakan pada kedua orangtua.

Keesokan harinya, aku pulang ke rumah kontrakan kami dan berharap sejuta kata maaf keluar dari mulut suamiku. “Ayah, ibu pulang!” kata ku menghampiri suami lalu menyium keningnya. Tapi sayang, suamiku diam seribu bahasa. “Ayah masih marah dengan ibu ya?” Tanyaku. “Ibu faham, kenapa ayah marah. Ibu janji deh, besok ibu akan meningkatkan kuantitas pertemuan kita. Tapi janji ayah jangan marah lagi ya?” celotehku, mengharap suami tidak bersikap dingin lagi.

Tapi sungguh di luar dugaan. Rayuanku bersambut tamparan yang mendarat dipipi kananku. “Kamu ini perempuan bermuka dua. Kamu tidak pernah ikhlas kan atas uang yang kau keluarkan untuk kesembuhanku?” marahnya. Entah setan dari mana yang meracuni pikirannya, sampai-sampai suamiku bisa berdiri hanya untuk memaki dan menghardikku. “Demi Allah yah, aku ikhlas membantu pengobatanmu, dari mana ayah dapat berita tidak benar itu?” Tanya ku, sambil memegangi pipi kanan ku yang baru saja terkena tamparan tangan suami sendiri.

Siang itu merupakan hari pertama perang hebat antara aku dan suami. Saking kerasnya teriakan suamiku, tetangga kanan-kiri menyaksikan pertarungan hebat kami. Untuk kali ini, aku tetap berusaha tidak menceritakan kejadian ini pada keluargaku, aku punya keyakinan tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik. Lagi-lagi aku tidak pernah menganggap itu sebagai perkara besar. Malam seusai salat magrib, aku menghampiri lagi suamiku yang barbering di kasur. Aku berusaha memijat kakinya, seperti apa yang biasa ku lakukan sebelum ada ibu mertuaku. Dengan ragu tanganku menggapai kakinya.

Apa yang ku dapat, ia meronta-ronta dan berteriak seperti anak kecil. “Jangan sentuh aku, jangan sentuh aku. Aku ga’ mau dipegang dengan Fatimah,” teriaknya. Ia berkata demikian sambil berteriak memanggil-manggil ibunya. Dari arah belakangku, ibu mertua datang, kemudian langsung memeluk putranya. “Enyah kau dari sini, kehadiranmu tidak dikehendaki anakku lagi,” kata ibu mertua ku. Dari situ aku baru tahu, ternyata penyebab perpecahan rumah tangga kami tidak lain adalah ibu mertuaku sendiri. Emosiku pun memuncak. “Baik, ibu ga’ usah repot-repot, malam ini juga saya pergi,” jawabku yang juga menegang.

*

Sebulan aku tidak pulang ke rumah kontrakan. Aku dan Aziz tinggal di rumah orangtua ku. Ada secercah harapan, suatu saat keluarga suamiku menjemput dan memita aku kembali ke rumah kontrakan kami. Tapi sayang, harapan itu tak kunjung terjadi. Tepatnya, hari Sabtu sore, Aziz menangis terus, anakku merenge minta bertemu dengan ayahnya. Sebagai seorang ibu, aku tidak tega melihat anakku menangis. Aku tidak pernah melihat anakku menangis sampai 3,5 jam. Akhirnya, ku putuskan untuk mengantar anakku bertemu ayahnya. Seperti yang sudah ku duga, suami ku pun merindukan Aziz. Sedangkan aku, sepatah kata pun tidak mendapatkan tegur sapa dari suamiku. Sepertinya aku benar-benar tidak diharapkan lagi. Sebulan sudah aku berada di rumah yang kini jadi neraka bagiku. Sebulan itu juga suamiku tidak menegur. Manusia mana yang tahan jika tidak di ajak bicara dengan orang terdekatnya?

Suatu hari, ibu mertua menghampiriku. Ia meminta uang, menurutnya, uang yang dahulu pernah ku tinggalkan untuk pengobatan suamiku sudah habis. “Suamimu mau berobat, tapi uangnya ndak ada. Uang ibu juga sudah habis,” kata ibu mertua. Ibu mertuaku menabahkan, belakangan proses pengobatan di dokter sudah dihentikan, mengingat biayanya mahal. “Jadi supaya tetap berobat, ibu memutuskan pindah berobat ke paranormal saja,” tambahnya.

Aku adalah seorang muslimah, bagiku ikhtiar melalui paranormal atau dukun, merupakan hal yang sangat bertentangan dengan syariat Islam. Aku pun tidak menyetujui permintaan ibu mertuaku. “Maaf bu, perkara yang satu ini saya tidak setuju, itu syirik bu, dosa besar. Allah tidak akan mengampuni dosa kita,” jawabku. Aku tidak mau lantaran suamiku tidak ada perubahan dalam sakitnya, kemudian menyerahkan kesembuhannya pada seorang dukun. Ini masalah keyakinan (akidah), sampai kapan pun tidak akan pernah ku gadaikan dengan apapun.

Rupanya suamiku mendengarkan percakapan kami, percekcokan antara aku, suami dan ibu mertua pun terjadi. Tiba-tiba suamiku balik kearah belakang, mengambil sebuah gunting. Ketika perdebatan antara aku dan ibu mertua, tiba-tiba ada sebuah benda tajam sudah menempel ke pinggang sebelah kananku. Perdebatan itu pun berhenti sejenak. Dengan nada berani dan lantang aku menantangi suamiku. “Dulu kamu menampar pipi ku, sekarang kau mau membunuhku? Silakan, Aku tidak pernah takut dengan kematian,” kataku dengan nada bergetar. “Ayo bunuh aku, bukankah ini yang kau dan keluargamu inginkan?” suaraku makin mengeras.

Baru kali itu, aku sangat berani dengan suamiku, mendengar teriakanku, anakku, Aziz terbangun dari tidurnya dan menangis memanggil namaku. Spontan aku langsung berlari ke kamar mengambil anakku, kemudian membawanya pergi dari rumah yang kian hari semakin memanas saja. Inilah puncak dari perpecahan keluarga kami. Aku sudah tidak bisa memaafkan perlakuan suamiku lagi. Tapi sekali lagi tetap ada pertimbangan mengenai posisi anakku.

Masalah ini sudah tidak bisa kutahan lagi, aku ceritakan persoalan ini pada teman karib ku Yani. Kami berteman sejak tiga tahun lalu, tapi se-iya dan se-kata sudah terjalin antara kami. Yani terkejut ketika mendengar permintaan cerai ku atas rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi. Kali ini Yani tidak bisa berkomentar mengenai permasalah yang menimpaku. “Aku tidak bisa berkata-kata Fat, tapi jika memang harus cerai, cobalah kita minta nasihat dengan Ustadz Jauhar. Mungkin, ada solusi yang menenangkan mu,” tanggapan Yani, atas ceritaku.

Keesokan harinya, pagi sekali kami mengunjungi Ustadz Jauhar. Aku ceritakan semua permasalahan rumah tanggaku dengan se-detil-detilnya. “Perceraian bukanlah hal yang disukai Allah dan rosulnya,” nasihat Ustadz Jauhar. Tapi kalau kondisinya sudah seperti ini tentu ada pertimbangan dari berbagai ahli tafsir. “Jika Fat bisa bersabar dengan kondisi itu, silakan. Sampai batas kesabaran yang Fat tentukan sendiri,” lanjut Ustadz Jau.

Ustadz Jauhar menyerahkan kembali persoalan ini padaku, aku beryakinan berpisah jalan terbaik. Dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, aku mendaftarkan diri ke kantor pengadilan agama di Tanjungkarang. Pengadilan pun menerima pengaduanku. Dua bulan sudah kami tidak bertemu, Aziz sebagai anak hasil pernikahan kami, terpaksa harus digilir sehari di rumah orangtuaku, sehari di rumah kontrakan suamiku. Kami berdua sepakan untuk berpisah.

Surat cerai, pihak keluarga suami ku tidak mau mengurusnya. Karena ini gugatan ku, maka aku pun harus mengurus surat-suratnya. Aku merasa sedikit lega dari hari sebelumnya. Tapi walau sudah berpisah dengan suami, aku tetap membantu biaya pengobatannya. Ntah ini jawaban dari doa-doa yang ku panjatkan pada Allah SWT, selama kebersamaan ku pada suami, aku selalu minta yang terbaik untuk aku dan suami ku. Aku minta diselamatkan akidah dan agama kami, dalam doaku tak henti-hentinya membayangkan wajah suami tercintaku.

Hari Jumat, pukul 09.00 wib, aku mendapat kabar, suami ku telah meninggal dunia. Kata pihak keluarga suami ku, kepergian suami ku cukup mendadak, mungkin karena sakit yang hebat, sehingga ia tidak sanggup menahannya. Selamat jalan suami ku, mungkin ini jalan yang berbaik buat kehidupan dunia dan akhirat kita. Allah tidak menghendeki pertengkaran terus-terusan antara kita. Semoga amal ibadah mu diterima-Nya. Amin.[]

0 komentar: