ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Wednesday, December 9, 2009

Korupsi..Korupsi..Korupsi

Seluruh wilayah di Indonesia kemarin, Rabu (9-12), tumpah ke jalan. Kalau saya bilang, itu bukan aksi unjukrasa, melainkan doa dan harapan bersama rakyat Indonesia yang sudah sebegitu muaknya dengan korupsi yang mendarah daging di negeri ini.

Semoga saja, apa yang menjadi doa dan harapan sebagian masyarakat terkabul. Dan, tanggal 9 Desember 2009 ini, sebagai awal dimulainya pemberantasan korupsi. Terlalu banyak alasan kenapa tahun 2009 sebagai tahun starting, karena pada tahun inilah, kebobrokan hukum sedikit demi sedikit mulai tertampak. Hukum begitu tegas bagi masyarakat kecil semetara kalangan elit, dibiarkan begitu saja berkeliaran. Padahal, mereka menelan uang rakyat yang nilainya mencapai milyaran bahkan triliyunan rupiah. Bahkan ada kesan mereka ini dilindungi oleh payung hukum.

Masih hangat diingatan kita denda Rp204 juta denda yang harus dikeluarkan oleh Prita Pulyasari. Denda itu sebagai tanggungannya karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional. Belum lagi, kasus nenek tua Minah, warga Jawa Tengah yang mencuri 3 buah Kakao, kemudian di hukum 1,5 bulan dengan masa percobaan 3 bulan. Ironisnya, hukum tidak berlaku bagi para penyeleweng dana bantuan Bank Century dan penyuapan di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kalau melihat keriwehan penegakan hukum (karena kata orang-orang hukum di Indonesia ditunggangi oleh pihak yang berkepentingan), terkadang ada pikiran, apa iya, korupsi ini bisa benar-benar di berantas? Apa iya, hukum kita bisa benar-benar tegak se adil-adilnya? melihat, seabrek persoalan hukum di Indonesia. skeptis ini diperparah dengan cerita dari seorang pengusaha penggemukan sapi ternama di Lampung Tengah.

Menurut ceritanya, pihaknya selalu dimanfaatkan oleh oknum pemerintah di Lampung. Setiap melakukan ekspor sapi ke luar daerah, pihaknya dikenakan biaya perjalanan. Gak tanggung-tanggung, sekali jalan, pihaknya dikenakan biaya Rp.10 ribu untuk per ekor sapinya.Bayanglah, sekali ekspor ke daerah lain, ada 300 ekor sapi. Per ekor di kalikan Rp.10 ribu, artinya, sekali jalan, dia harus mengeluarkan biaya untuk penulisan di atas kertas sebesar Rp 3 Milyar.

Biaya tulis di atas kertas ini menurutnya lebih mahal dibandingkan ongkos pemeriksaan hewan ternaknya. Dan ini, menurutnya sudah berlangsung selama 1 tahun. Tentu ia sangat keberatan dengan biaya yang sebesar itu, untuk kerja yang sangat ringat. Tarolah, kalau untuk peningkatan PAD, tapi ya,,plis deh, jangan menyolok begitu.

Tapi itulah, perkara korupsi sudah mendarah daging dari tingkat ter atas sampai paling bawah. Wajar, kalau investor jadi melarikan diri dan sebal berhadapan dengan birokrasi, karena njelimet dan terlalu banyak pos yang semuanya butuh biaya ketika investor harus melewatinya. Dampak dari itu semua, pengangguran merajalela, kemiskinan terus meningkat dan kriminalitas semakin menjadi-jadi.

Artinya, selama korupsi masih bercokol di negeri ini, maka persoalan klasik bangsa ini, seperti kemiskinan dan premanisme tidak akan terselesaikan. Siapapun presidennya. Butuh kesungguhan dari dalam diri sendiri untuk bisa menuntaskan persoalan ini, yakni budaya malu melakukan korupsi sekecil apapun dan dimanapun. Wallahualam[]