ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Sunday, November 21, 2010

Lindungi Hak TKI

Kasus Sumiati pembantu rumah tangga di siksa oleh majikannya bukanlah kasus baru yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Setiap ada kasus penganiyayan, pemerintah Indonesia selalu berang, muka memerah, hidung menghendus-hendus dan telinga memanas (seperti siluman kerbau yang sedang marah). Buru-buru pemerintah dengan segala kekuasaannya mensomasi pemerintahan negara lain yang warga negaranya melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap TKI.

Sering kita mendengar dan melihat pemberitaan tidak wajar ini di media nasional, selalu begitu terus kebijakan pemberintah. Menarik TKI yang dipekerjakan di negara tersebut, membuka-buka Memorandum Understanding (MoU) dan seterusnya. Intinya, pemerintah Indonesia tidak terima dengan perlakuan salah satu warga yang mendapat bantuan tenaga pembantu rumah tangga dari Indonesia.

Kasus terakhir penganiyayan TKI bernama Sumiati asal Nusa Tenggara Barat yang di potong bibirnya oleh majikannya di Arab Saudi. Sungguh, prilaku yang sangat keji. Dan Kami warga Indonesia menyatakan mengutuk tindakan itu dan meminta pemerintah Arab Saudi bertindak tegas atas prilaku warganya yang tidak berprikemanusiaan.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa tenaga kerja kita selalu diperlakukan demikian? Memang tidak semua TKI mendapat perlakuan sama seperti Sumiati. Tapi coba kita tilik ke belakang, selama kurun waktu 10 tahun, Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono atau pemerintahan sebelumnya, sudah berapa tenaga kita di aniyaya warga asing? Terus, adakah langkah konkrit Pemerintah Indonsia yang dapat berdampak pada efek jera pada pelakunya?

Selama ini yang kita ketahui, pemerintah bertindak secepat kilat menyambar begitu mendapat berita buruk itu. Namun disayangkan, tindakan-tindakan pemerintah Indonesia hanya berdampak taubat sambal. Hari ini sang majikan kapok tidak ingin bertindak seperti binatang, tapi pada waktu yang akan datang, majikan-majikan bengis itu berulah lagi. Dan korbannya selalu tenaga kerja asal Indonesia. Apa salah tenaga kita selalu disiksa dan dianiyaya..

Saya jadi teringat pertemuan dengan seorang TKI di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta lebaran Idul Fitri lalu, dia TKI yang bekerja di Saudi Arabia. Saya sendiri tidak ingat namanya, yang saya ingat, dia berasal dari Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat juga. Selama dalam masa tunggu penerbangan, perempuan berputra 3 ini banyak bercerita tentang pengalamannya selama 3 tahun menjadi TKI. Dia termasuk TKI yang beruntung, karena majikannya memperlakukannya dengan baik. Ada juga beberapa rekannya yang diperlakukan tidak menyenangkan dan harus kembali ke Indonesia dengan kekecewaan dan cucuran air mata.

Ada satu alasan yang menurut saya cukup menjadi catatan serius bagi pemerintahan kita. Mereka bekerja ke luar negeri motivasinya satu. Ingin keluar dari kemiskinan, dengan pertimbangan di luar negeri bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bisa dihargai mencapai 2juta-2,5 juta, sementara di Indonesia, gaji tertinggi untuk seorang pembantu rumah tangga pada umumnya sekitar Rp250 ribu sampai Rp300 ribu. Sungguh pemikiran yang sangat logis. Apalagi motivasinya ingin segera keluar dari kemiskinan. Dalam hitungan 3-5 tahun TKI bisa mengumpulkan modal ratusan juta.

Dan berdasarkan catatan Metro TV, TKI asal NTB sebanyak 4000 orang dan 400 diantaranya bekerja di Saudi Arabia. Itu baru satu provinsi bagaimana dengan catatan secara nasional? Bayangkan, andaikan warga negara Indonesia yang secara ekonomi kehidupannya dibawah standar, menjadi TKI, mereka pikir adalah sebuah solusi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Artinya pemerintah telah gagal memberi penghidupan yang laik bagi rakyatnya.

Masih melanjutkan cerita seorang TKI asal Bima, saat dia dan sejumlah temannya sampai di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dengan sangat jujur ia mengeluhkan prilaku para calo yang berjaga-jaga di pintu masuk terminal. Tarik menarik barang bawaan dan adu otot dengan para calo adalah pemandangan yang menarik untuk di pantau. Dilihat tampangnya lugu saja, maka TKI itu jadi sasaran empuk pagi para calo. Inilah potret nyata, bahwa orang Indonesia juga tidak menghargai orangnya sendiri.

Adakah pemerintah melakukan penertiban di terminal Internasional itu? Ternyata tidak juga.

TKI yang berjuang di luar negeri demi sebuah kehidupan yang laik adalah upaya yang semestinya patut dihargai oleh pemerintah. Dengan keputusan mereka menjadi TKI artinya, masyarakat telah mengurangi beban pemerintah. Pemerintah adalah sebuah lembaga yang sakral. Orang-orang didalamnya punya hak penuh terhadap regulasi yang mengatur hajat hidup orang banyak secara tegas dan bijaksana. Apa susahnya bagi pemerintah menjaga dan melindungi hak-hak TKI?


Tentu kita berharap, kasus Sumiati adalah kasus terakhir yang mewarnai per-TKI-an, kita tidak ingin ada TKI lain yang bernasib sama seperti Sumiati. Semua itu, bukan hal yang sulit buat pemerintah, hanya dengan satu catatan, bersikap tegas dan disiplin. Selama sikap itu masih tersimpan dalam pemikiran saja, tanpa ada sebuah aplikasi nyata, maka yakinlah, mimpi buruk itu selalu hadir dalam kehidupan para TKI.