ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Tuesday, March 15, 2011

Sekelumit tentang Gang Dolly

sebuah perjalanan dapat dikatakan indah, apabila orang yang mendapat kesempatan itu, dapat mengabadikan perjalanannya itu dalam sebuah cerita yang tertuang dalam tulisan. Kali ini, aku ingin mencoba kembali menceritakan pada rekan blog sekalian bagaimana, hari-hari ku selama 1 minggu berada di Surabaya. Tentunya saya tidak akan menceritakan hari per hari selama di sana, saya hanya akan berbagi pada sesuatu yang menurut saya memang laik untuk dibagi.

Oya, sebagai informasi awal, bahwa sebetulnya keberadaan saya disana dalam rangka mengikuti pelatihan jurnalis radio dalam perspektif informasi public. Pelatihan ini menghadirkan 20 peserta dari berbagai daerah yang difasilitasi oleh Alwari bekerjasama dengan Yayasan TIFA, Media Link dan Komisi Informasi Publik (KIP).

Hari pertama hingga hari ke-empat, kami 20 peserta ini begitu antusias mengikuti pelatihan. Peserta mendapat wawasan apa sebetulnya KIP itu dan informasi public yang seperti apa sebenarnya masyarakat berhak mengetahui dan berhak mengakses informasi tersebut. selain itu, kami juga diberi pemahaman bagaimana sebaiknya media memposisikan diri dalam kaitannya UU KIP.

Selesai dari pelatihan, saya tidak segera pulang ke daerah asal. Saya, juga teman lainnya, coba menjelajahi sebagian tempat bersejarah Kota Surabaya. Sehari pasca pelatihan, saya mengunjungi monument kapal selam, museum Rokok Sampoerna, Museum Pahlawan, jembatan yang sempat menimbulkan kesowatan antara SBY dengan Megawati yakni jembatan Suramadu dan malam harinya ke lokalisasi terbesar se- Asia Tenggara nan legal. Dolly orang menyebutnya.

Hmmm… Dari sekian lokasi yang saya kunjungi, satu lokasi yang pasti teman-teman juga akan tergelitik lidahnya untuk menceritakan kembali suasana di Lokalisasi Dolly. Kebetulan, waktu kami mengunjungi lokasi itu pada malam hari. Konon, justru pada malam harilah, suasana akan semakin hidup.

Mobil Timor tua yang kami tumpangi memang sudah kami atur kecepatannya antara 15-20 KM saja. Tak jauh dari pintu masuk Gang Dolly terdapat masjid. Nampak beberapa jamaah berangsur-angsur meninggalkan masjid usai menunaikan sholat isya. Yasin, sebagai pemandu kami sembari mengendalikan laju mobil yang kami tumpangi juga memberikan sedikit tentang kehidupan masyarakat di sekitar Gang Dolly.. Nampak para lelaki “Broker” berjajar sepanjang jalan, sebagian dari mereka melambaikan tangannya, menandakan meminta kurangi kecepatan bagi pengguna jalan. Isyarat itu juga pertanda, “Mas-mas, lihat loh saya punya barang oke, mampirlah barang sejenak saja”…

Sepanjang kami menyisiri Gang Dolly, kami melihat rumah-rumah bagaikan akuarium. Dimana didalamnya adalah wanita-wanita berpakaian seksi yang siap memberikan kepuasan lelaki hidung belang. Antara satu rumah dengan rumah lainnya memperdengarkan music yang volume suaranya memekakan telinga. Tidak jarang ditemui plank Club Karaoke berlogo “Bir Bintang”. Club-club itu ada yang Nampak terang benerang ada juga yang remang-remang.

Menurut keterangan Yasin yang pernah melakukan liputan di lokasi Dolly, tariff yang ditawarkan perempuan tuna susila di Gang Dolly ini bermacam-macam. Kisarannya antara Rp 85 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung nilai kepuasan dan keoriginalan si wanitanya (mungkin). Dalam 1 bulan, penghasilan si wanita tuna susila di Gang Dolly ini, menurut Yasin minimal mengantongi sedikitnya Rp 8 juta.(hmmm…banyak juga ya).

Tapi, ada yang menarik dari cerita Yasin, bahwa sebenarnya para wanita yang menjajakan dirinya di Gang Dolly ini, ternyata bukan korban trafficking (perdagangan manusia), mereka bias ada di sana karena kesadaran diri sendiri yang ingin mendapatkan uang banyak secara mudah dan singkat. Dan satu lagi keunikannya, bahwa disekitar lokalisasi itu juga disiapkan perpustakaan, konon diperuntukan bagi anak-anak PSK, agar mereka juga dapat akses keilmuan, kelak mereka tidak menjadi seperti orang tuanya.
**
Hmmm… begitulah sekelumit cerita Gang Dolly yang bias saya sampaikan. Miris rasanya dada ini melihatnya, hingga sesampaikan kami dipenghujung Gang Dolly, kami betul-betul menghenduskan nafas kelegaan. Yang saya ketahui, Surabaya adalah kota besar. Yang saya ketahui, Surabaya kota yang tertata rapih dan tertib lalu lintasnya. Surabaya yang saya ketahui adalah kota santri, tapi yang saya ketahui juga bahwa Surabaya juga kota yang besar tingkat kemaksiatannya.

Pertanyaan besar dalam benak saya, apa alas an pemerintah Surabaya melegalkan lokalisasi itu? Mungkin pertanyaan ini terkesan “lugu” tapi sungguh, sebagai orang yang menganut budaya timur, saya merasa asing dengan kebijakan pemerintah daerah setempat. Dan yang membuat saya semakin penasaran, kemana suara para ulama di sana? Yang saya tahu, ulama paling pinter buat fatwa, tapi mengapa untuk kasus yang satu ini, saya tidak pernah dengar fatwa ulamanya?

Nasib Rakyat yang tak Punya Jamkes Pemerintah

Mungkin agak tendensi saat saya mengangkat permasalahan ini ke public. Pasalnya orang yang tertimpa masalah ini tidak lain adalah tetangga saya sendiri. Biar nyambung alur ceritanya, maka saya akan menguraikan rangkaian cerita sedari awal.

Saya lupa persisnya kedatangan tetangga depan rumah. Dia mempertanyakan proses-proses mengurus Siti (tetangga lainnya) yang dulu pernah saya bantu mengurus untuk mendapatkan jaminan bebas biaya kesehatan rawat inap di rumah sakit. Saya menceritakan tahap awal hingga akhirnya betul-betul si pasien bias di rawat. Mendengar penjelasan itu, Ibu Eka tetangga depan manggut-manggut, dia piker prosesnya tidak sulit asalkan ada 2 persyaratan mutlak yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

Waktu terus berjalan, ibu Eka pun menjalani proses yang saya ceritakan dari awal. Cerita punya cerita ternyata Ibu Eka mengalami kesulitan untuk membantu tetangganya yang tengah sakit parah. Jupri namanya, usia 55 tahun. Berdasarkan diagnose dokter, Jupri mengalami sakit kanker disaluran Hidung Telinga dan Tenggorokan (THT). Dokter yang mendiagnosa menyarankan untuk dirujuk di Rumah Sakit Abdul Muluk (RSUAM) Lampung, namun diujung saran dokter tersebut, bahwa di Lampung tidak ada alat untuk menghambat pertumbuhan daging tumbuh yang terletak disaluran THT {ak Jupri. Dokter menyarankan, perawatan Jupri dilakukan di RS Jakarta atau Palembang.

Benar saja apa yang dikatakan dokter yang mengani Jupri. RSUAM tidak punya alat penyembuhan penyakit yang Jupri derita. Akhirnya, dengan biaya yang serba pas-pasan, Jupri tetap diberangkatkan ke Jakarta. Pertimbangan keluarga, nanti setelah ketahuan penyakit, pengobatan serta biaya yang dibutuhkan, baru pihak keluarga mengurus ini-itu supaya dapat keringanan berobat.

Setelah didiagnosa ulang, ternyata Jupri menderita sakit yang berjenis kanker penyakit itu bernama Karsinoma Nasofaring. Persis dugaan dokter yang menanganinya dulu di Lampung, bahwa Jupri menderita kanker dibagian saluran THT berstadium 3. Pihak RSCM menyarankan di kemoterapi dan penyinaran untuk menghambat pertumbuhan kanker tersebut. Sinar penghambat pertumbuhan kanker itu memang adanya hanya di kota besar. Jadi perawatan Jupri mutlak tidak bias di Bandar Lampung.

Sementara, RSCM tidak menyarankan pengangkatan daging tumbuh itu karena akan mempengaruhi struktur wajah Jupri karena posisi daging tersebut tepat dibagian dalam hidung. Total biaya yang dibutuhkan dalam pengobatan Jupri ditaksir mencapai Rp 50 juta.

Jupri yang kesehariannya bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan yang tidak pasti perbulannya mencapai Rp400 ribu hingga Rp500 ribu, tentu berpikir keras, bagaimana dapat menjalani pengobatan yang relative mahal itu. Pihak RSCM menyarankan Jupri untuk mengurus klaim biaya pengobatan kepada pemerintah tempat Jupri berdomisili.

Ibu Eka dan Pak Rojali sebagai mewakili pihak keluarga mengikuti saran pihak RSCM, berinisiatif untuk mengurus Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesmas), namun saying, Jupri tidak tercatat dalam daftar warga yang berhak menerima Jamkesmas akan tetapi Jupri terdata dalam daftar warga yang menerima Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Sebagai informasi saja, bahwa sebenarnya ketika seorang warga memegang kartu Jamkesmas maka kartu tersebut berlaku diseluruh rumah sakit se-Indonesia. Demikian juga ketika seorang warga memegang kartu Jamkesda maka warga tersebut dapat jaminan kesehatan di daerah setempat. Sekali lagi, Jupri tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Jadi Jupri tidak mendapat akses rumah sakit seluruh Indonesia. Dan semua cara yang disarankan dari RSCM dijalankan agar mendapat kartu jaminan itu.

RSCM pun menyurati dinas terkait. Intinya meminta jaminan pengobatan atas pasien yang bernama Jupri asal Bandar Lampung, Lampung. Surat pembiayaan kesehatan pun sampai ke dinas terkait. Berdasarkan surat nomor 440.1.387.09.2011 ditandatangani sekretaris Mu’min menerangkan sebagai berikut:

Pemerintah Kota Bandar Lampung telah menganggarkan untuk Program Jamkesda dan telah melaksanakan MoU dengan 10 Rumah Sakit Tipe C dan dua Rumah Sakit Tipe B (khusus untuk Rumah Sakit Provinsi Lampung), sehubungan dengan keterbatasan dana kami belum melaksanakan MoU dengan Tipe A (Rumah Sakit Nasional) dan RS Tipe C dan B di luar Provinsi Lampung.

Berikutnya diterangkan juga bahwa untuk RS yang melayani pasien Jamkesda dapat dibayarkan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, jika RS tersebut telah melaksanakan MoU dengan pemerintah Kota Bandar Lampung.

Sehubungan dengan hal itu, maka pemerintah Kota Bandar Lampung menyatakan tidak dapat memberikan jaminan pembiayaan atas pasien tersebut. Atas nama Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung ditandatangani dan ditembuskan kepada Walikota Bandar Lampung dan pihak yang bersangkutan.
**
Yang menjadi pertanyaan, seberapa besar kekuatan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang kaitan dengan segelintir rakyat ini. Tidakkah ada jalan lain untuk menyelamatkan orang kecil ini yang memang betul-betul mengharapkan pertolongan pemerintah sebagai penentu kebijakan.

Kami atas nama rakyat sangat mengapresiasi dan sangat menghargai upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan pada rakyat miskin. Kami juga mengetahui, bahwa penentu kebijakan ini juga adalah manusia yang penuh dengan khilaf dan salah. Demikian pula pihak yang melakukan pendataan dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS).

Seingat saya, pemerintah akan melakukan pendataan ulang terhadap warga yang menerima jaminan kesehatan itu. Tapi yang menjadi pertanyaan, seberapa besar upaya BPS untuk mengerahkan angotanya dalam melakukan pendataan ulang itu? Mengapa masih ada saja orang kaya mendapatkan kartu Jamkes dan masih ada juga orang miskin yang kesulitan mendapatkan Jamkes? Mungkin keterbatasan informasi hingga saya tidak mengetahui perkembangan aktifitas yang berkaitan dengan hajat orang banyak ini,

Saya kira, masih banyak orang miskin yang bernasib sama seperti Jupri ini (tidak terdata masyarakat jamkes, namun akhirn namun akhirnya terbentur ketika betul-betul sakit), lantas apakah sang pemangku kebijakan tetap akan kekeuh dengan ketentuan yang ada? Atau adakah solusi konkrit diluar kebijakan sebelumnya? Kebijakan yang dapat mengakomodir hak orang miskin yang tertinggal.

Asal diketahui saja, masih banyak orang miskin yang kebingungan untuk mendapatkan jamkes yang sudah menjadi program nasional itu. Rakyat yang memang tidak peduli atas kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah? Atau sosialisasi aparat terkait yang kurang massif? Wallahualam, tidak ada yang sempurna manusia di dunia ini, tapi sekali lagi, penulis yakin, masih ada kesempatan untuk memperbaiki semua kekeliruan yang terjadi.[]

Monday, January 24, 2011

Sabar Kunci Menuju Keberhasilan

Selasa yang penuh dengan keceriaan. Ku mengikuti sebuah pelatihan yang sebetulnya aku sendiri sudah bisa mengoperasikan situs pribadi itu atau bahkan sudah bisa membuat tampilan yang menarik (menurutku). Tapi alakurihal, ku tetap terima undangan tersebut, karena sebetulnya bukan ilmu yang ingin ku dapatkan dari pelatihan itu, lebih pada sebuah sertifikat yang nantinya bermanfaat sebagai syarat ku menyusun tugas akhir disebuah institusi tempatku mengenyang pendidikan S-1.

Dipojokan, ku memposisikan diri dalam pelatihan itu. Alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pelatihan tersebut selama 6 jam,, sungguh sebetulnya hal yang menjenuhkan, andaikan ku harus memperhatikan pembicara yang sepertinya tidak to the point dalam menyampaikan materi. Sepertinya mereka terlupa, bahwa sebetulnya audiens yang dihadapi, bukanlah remaja yang masih punya semangat belajar yang baik daripada ibu-ibu perkumpulan.

Untuk mencapai sebuah inti materi, mereka berbicara panjang lebar dan global. Sungguh menjenuhkan dan menjelimet. Tapi sudahlah, semua itu sudah berjalan, toh hingga aku menuliskan tulisan ini, para ibu-ibu perkumpulan itu masih tetap setia mengikuti setahap demi setahap pemateri.

Yah, pelatihan ini difasilitasi oleh Badan Kerjasam Organisasi Wanita (BKOW) Lampung. Luar biasa, semangat belajar ibu-ibu ini cukup baik. Badan ini bercita-cita setiap wanita yang tergabung didalamnya, meskipun ibu rumah tangga, tapi punya keahlian mengoperasionalkan blog bahkan mengisi blog tersebut dengan tulisan yang menarik serta mendidik pembaca blog mereka.

Kalau ku amati, mungkin usia mereka berkisar antara 30 sampai 60 tahun ke atas. Ku perhatikan, perlakuan mereka terhadap laptop dan PC seperti halnya perlakuan mereka membuat kue yang lezat..pelan-pelan sekali, teliti sekali, sabar sekali. he.he.he. jadi lucu melihatnya.

Demikian juga dengan tenaga pelatih, mereka tampak sabar mengajari. Proses demi proses mereka ajarkan dan mereka periksa demi sebuah tujuan pelatihan tersebut. Luar biasa.Idealnya dalam pelatihan itu bisa diselesaikan selama 2 jam, namun audiens adalah emak-emak, akhirnya prosesnya bisa menjadi mulur beberapa waktu.
**
Ibroh apa yang bisa kita ambil dari pengalaman yang sederhana ini?

Bahwa sebetulnya, sebuah cita-cita tidak serta merta terwujud secara instan. Merubah orang dari tidak tahu menjadi tahu itu juga tidak cepat dan mudah, Butuh waktu dan butuh ketelatenan, apalagi orang yang kita hadapi, meskipun jenisnya sama, tapi tetap memiliki kapasitas, daya nalar yang berbeda-beda. Ditambah lagi, individu yang dihadapi adalah orang yang sudah banyak makan asam garam (tua). Tentu, butuh kesabaran yang ekstra.

Tapi sekali lagi saya coba sampaikan, bahwa apapun kondisinya, jika kedua belah pihak bisa saling melengkapi, maka bukan hal yang mustahil tujuan itu bisa tercapai dengan gemilang.

Di sini, dalam kehidupan yang belum ku ketahui secara pasti penghujungnya, ku memiliki sebuah mimpi yang sungguh ingin rasanya terwujud. Meskipun, sebuah mimpi itu sebetulnya terlambat ada dalam benakku, Alhamdulillah, tahapan demi tahapannya sudah ku lewati. Tinggal menunggu hasil akhir dari sebuah ikhtiar..

Saturday, January 22, 2011

Kalau Presiden saja Berkeluh, Bagaimana dengan Rakyat?


Sungguh serba salah di posisi Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden Republik Indonesia, berargumen salah tak berargumen pun tetap disalahkan. Padahal dari awal kepemimpinannya SBY selalu ingin jadi sosok yang tak pernah cacat di mata rakyatnya.

Dua kali kurun waktu Per Januari 2011, SBY seperti berada dalam posisi pesakitan. Diawali dari kritikan pedas para tokoh agama yang menilai SBY melakukan kebohongan publik karena mereka menilai tidak ada singkronisasi antara ucapan dengan realita yang ada. Kemudian tak begitu lama, SBY coba menumpahkan isi hatinya dalam piato kenegaraannya di hadapan petinggi TNI-Polri. Seperti ini kurang lebih petikan curhat SBY dalam rapat tersebut "Remunerasi telah diberikan untuk meningkatkan kinerja kinerja dan prestasi," Kata SBY. Kalau penulis amati presiden sempat terdiam sejenak lalu melanjutkan kembali "Sampaikan pada jajaran TNI dan Polri, ini tahun ke tujuh gaji presiden tidak naik. Betul" Tegasnya.

Sebagai seorang negarawan, siapapun bersepakat, rasanya tidak pantas kata-kata itu menggelontor dengan renyahnya dari seorang kepala negara. Sungguh SBY telah mengabaikan kenikmatan lainnya sebelum dirinya berkeluh-kesah. Tidakkah dia ingat, kapasitasnya sebagai kepala negara sebenarnya sangat mudah baginya untuk menentukan berapa jumlah gaji yang sebenarnya dia inginkan untuk diterima. Tidakkah dia ingat, bahwa dirinya bukan sebagai karyawan apalagi buruh yang menuntut kenaikan gajinya demi kelaikan hidup. Tidakkah dia ingat, bahwa sebetulnya masih banyak rakyat yang menjerit karena gaji yang didapat sangat jauh dari standar yang semestinya.

Dalam sebuah Situs Online Republika dikatakan, menurut majalah bergengsi asal Inggris, The Economist, gaji presiden di Indonesia adalah gaji dengan kesenjangan tertinggi ketiga dari 22 negara yang disurvei tahun lalu.

The Economist menyurvei soal gaji presiden atau perdana menteri yang dibandingkan dengan pendapatan per kapita masing-masing negara. Data tersebut secara tak langsung mencerminkan bagaimana kesederhanaan seorang kepala negara dan sekaligus kesenjangan pendapatan presiden dengan rakyatnya.

Berdasar urutan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki ranking ketiga yang kesenjangan antara gaji dia dengan pendapatan per kapita masyarakat.

Gaji per tahun yang diterima Presiden SBY mencapai 124.171 dolar per tahun. Menurut catatan majalah itu, dengan angka tersebut berarti gaji SBY 28 kali lipat dari pendapatan per kapita. (Lihat tabel gaji para pemimpin dunia versi Economist).

Urutan nomor pertama kesenjangan gaji tertinggi adalah presiden Kenya yang gajinya pokoknya 427.886 dolar yang berarti 240 kali lipat dari pendapatan per kapita rakyatnya. Di susul urutan kedua PM Singapura yang besarnya gaji 2.183.516 dolar atau 42 kali lipat pendapatan per kapitan rakyat Singapura.

Paparan di atas cukuplah bisa dijadikan bahan perbandingan sebelum seorang kepala negara atau pejabat di negeri ini berkeluh-kesah tentang pendapatan pokok yang diterimanya per bulan. Penulis bersepakat dengan komentar Pengamat Politik Ikrar Nusa Bakti yang mengatakan tidak sepantasnya seorang negarawan yang mengeluhkan gajinya ditengah kondisi bangsa yang serba krisis. kalaupun ingin menaikan gaji, sebaiknya sebaiknya disimpan rapat-rapat, jangan sampai ketahuan publik karena hal itu hanya akan melukai perasaan rakyat miskin saja.
**
Terkait keluhan gaji presiden yang tak kunjung naik selama kurun waktu 7 tahun, penulis sedikit saja melakukan perbandingan antara pemimpin penulis dengan dirinya sebagai seorang jurnalis. Andaikan saja, penulis boleh sedikit saja berkeluh kesah, jujur penulis katakan, honor liputan sebesar Rp 15 ribu rupiah. Honor itu bersih sekali liputan dan sekali mengudara, tidak mempedulikan jangkauan lokasi ataupun cost yang sesungguhnya dikeluarkan selama proses peliputan.(Ups curhat nie..)

Memang tidak sepantasnya membandingkan antara gaji presiden dan gaji penulis, toh secara kapasitas, tanggung jawab presiden lebih luas daripada penulis. Tapi justru dengan kapasitas itulah yang menentukan kepantasan seseorang untuk berkeluh-kesah.

Ada sebuah ayat quran yang menegaskan bahwa "Barang siapa yang bersyukur akan nikmat ya Ku berikan makan nicaya akan Ku tambah nikmat itu. Tapi barang siapa yang tidak bersyukur, maka yakinlah, azab Ku sangat pedih.."

Semoga ayat tadi ampuh mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas sekecil apapun nikmat Allah yang diberikan pada kita. Sebelum kita berkeluh kesah, mari kita hitung-hitung terlebih dahulu berapa total nikmat Allah yang sudah kita rasakan sehari ini saja, lalu bandingkan dengan keluhan yang meradang didalam hati. Ayat ini akan membuat kita berfikir ulang sebelum berkeluh kesah. Wallahualam.

Tuesday, January 18, 2011

Sekarang Zamannya Unjuk Kinerja bukan Pencitraan


Sembari menyusun tugas akhir, yang sekarang meskipun belum mengetahui apakah yang ku tuliskan itu sesuai bisa berkesesuaian dengan inti masalah yang ada, tapi alhamdulillah sudah sampai bab tiga. Semoga 1 bulan sudah bisa beres.. Dalam proses menyelesaikan tugas ini, satu sisi ku diminta fokus, total dengan tugas kuliah, tapi satu sisi, saya juga orang dewasa yang dituntut kemandiriannya secara spirit dan finansial. Aku berharap, semoga ini tidak menjadi kendala yang berarti buatku.(Eit..bukan itu yang mau jadi topik pembicaraan kali ini).

Ada peristiwa yang ku pikir sayang rasanya kalau pengamatan ini tidak tertuangkan dalam fasilitas blog ini. Peristiwa ini menurutku cukup menganggu kenyamanan pemerintah ditengah mengerjakan tugas-tugas kenegaraan.

Dien Syamsudin sebagai pengagas ide dengan sejumlah tokoh lintas agama Senin (17-01) menggelar sebuah konferensi yang dihadiri sejumlah tokoh lintas agama. Dalam pertemuan itu, intinya mereka mengkritisi kinerja pemerintahan yang di nilai tidak cepat tanggap dalam menyelesaikan persoalan krusial bangsa ini, yakni permasalahan korupsi yang tak kunjung ada penyelesaian nyata dari para aparat hukum.

Pemerintah dan aparat terkait justru saling lempar kewenangan, masing-masing merasa tidak berkompeten dalam mengusut dan menuntaskan permasalahan korupsi. Seorang Gayus Tambunan sepertinya tampak besar dan berpengaruh untuk melumpuhkan keperkasaan dan kedigdayaan hukum di Indonesia.

Permasalahan Gayus ibarat cerita sinetron yang terkesan bertele-tele hingga membuat penontonnya geram dengan alur cerita yang dibuat oleh sang sutradara. Ada saja yang membuat aktor antagonisnya leluasa mengkerdilkan aktor protagonis. Gayus selalu punya seribu cara untuk bisa melenggang bebas dari rumah tahanan, meskipun statusnya sebagai tahanan.

Dan, aparat pemerintahan kebakaran jenggot manakala masyarakat mendapatkan bukti dan mengeksposenya temuan-temuan itu di media. Bukan sekali saja Gayus terpegok tengah menikmati suasana liburan saat dia ditetapkan sebagai terdakwa sekaligus tahanan. Dan seperti biasa, pihak-pihak berkepentingan sibuk melacak lalu menangkap Gayus.

Ooh..Sungguh pemandangan yang memalukan Indonesia di mata Internasional. Seburuk inikah wajah hukum negeriku tercinta dalam menyelesaikan kasus mafia hukum? Sebegitu rumitkah undang-undang kita hingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk menangkap dan memenjarakan seorang Gayus? atau memang benar dugaan para pengamat di negeri ini, bahwa sebenarnya memang ada orang-orang kuat dibelakang Gayus. Gayus adalah bagian dari penderita dari subjek koruptor kelas hiu.

Bagaimana kita atau bangsa lain bisa percaya sepenuhnya dengan aparat penegak hukum di negeri ini jika kecacatan demi kecacatan selalu nampak? Sementara pemerintah, meskipun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya cacat, namun dengan percaya diri terus tebar pencitraan..

Hei..Hei..Sadarlah, wake up Please..ini bukan zaman kampanye, tapi Anda memang benar-benar sudah menjadi penguasa di negeri ini, bukan cuma 1 kali tapi sudah 2 kali. Rakyatmu menunggu kerja nyata atas janji yang sudah terlontarkan.. Jangan pusingkan dengan pencitraan, karena pencitraanmu akan terbangun dengan sendirinya dengan kinerja nyata yang diperbuat selama masa kepemimpinan.

Kerja nyata itu tidak cuma tertuang dalam rekomendasi, tapi betul-betul mengungkap pelaku kelas besar, lalu menghadirkannya ke meja hijau hingga memutuskan hukuman yang berdampak jera bagi pelaku maupun pelaku yang baru memikirkan akan melakukan.

Kami sebagai rakyat, merasa bangga dengan sikap kritis para tokoh lintas agama yang telah mengeluarkan kritik keras pada pemerintah hingga membuat telinga memanas dan menghujam jantung. Bayangkan secara lantang dalam pernyataan sikap para tokoh tersebutkan bahwa selama ini janji pemerintah tidak pernah terlaksana, semua hanyalah kebohongan publik belaka. Semoga ini adalah awalan dari sebuah penegakan hukum secara adil dan merata di bumi pertiwi ini.

Tuesday, January 11, 2011

EO Termehek-mehek


Alhamdulillah, tetanggaku sudah mendapatkan haknya dari tetangga lainnya. Sebut saja Siti Halimah, dia seorang ibu rumah tangga, usianya 22 tahun memiliki satu putra yang baru berusia 5 bulan, suaminya bekerja sebagai buruh panggul beras di Pasar Bambu Kuning. Siti beserta suami dan anaknya untuk sementara waktu tinggal ditempat ibu mertua. Bersyukur, kelihatannya Siti mempunyai mertua yang pengertian lagi saying padanya. Hal itu dibuktikan, saat Siti sakit, ibu mertuanya yang pontang-panting mengurus Ihsan (anak Siti).
**
Pertengahan bulan Desember 2010, Siti bermain ke rumah orangtuanya yang terletak dibilangan Flamboyan, Enggal, Bandar Lampung. Siti ingin menjenguk kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Si abah sakit Prostat sementara emak sakit batuk-batuk, konon cerita, emak punya penyakit TB paru yang belum tersembuhkan.

Hari kian sore, Hendra (suami Siti) mengajak Siti untuk pulang ke Kaliawi. Siti Nampak berat meninggalkan rumah orangtuanya, karena rasa rindu yang sembuh terobati. Bagaimanapun juga, Siti adalah istri yang sudah semestinya tidak membantah ajakan suami. Siti pun pulang dengan menanggung rasa rindu kepada emak dan abah yang belum tertuntaskan.

Azan magrib berkumandang, SIti beserta suami dan anaknya pun sampai di rumah mertua di Kaliawi. Wajah emak dan abah pun belum lenyap dari baying-bayang Siti. Pikiran yang terus tertuju pada emak dan abah membuat Siti akkhirnya meriang. Tubuhnya panas-dingin, batuk-batuk yang sudah seminggu pun semakin mengguncang jantungnya, tanpa dikehendaki, darah segar keluar dari mulut Siti.

Meskipun sudah batuk darah, suami SIti tidak langsung membawanya ke puskesmas terdekat, karena memang batuk yang Siti alami, memang sudah lama dan dianggap biasa. Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan SIti semakin menurun, barulah Hendra dan keluarganya mengajak SIti periksa ke puskesmas.. Dokter yang bertugas tidak bias mengatakan penyakit yang diderita SIti, dan puskes tempat Siti periksa menyarankan untuk dirujuk di rumah sakit terdekat. Anjuran dari puskes diabaikan, SIti pun hanya menjalani perawatan alakadarnya. Tapi kondisi kesehatan Siti kembali menurun, Hendra memutuskan untuk membawanya ke dokter, namun, saying, dokter pun tidak bias menyebutkan secara pasti penyakit yang diderita Siti karena keterbatasan alat yang dimiliki dokter tersebut.

Melalui medis tidak juga kunjung sembuh, keluarga Siti pun memutuskan untuk melanjutkan pengobatannya ke altrnatif. Di sana, SIti disuruh makan hati kalong. Saran yang sungguh tidak bias masuk akal itu dia ikuti dengan sepenuh hati agar Siti kembali sembuh. Maklum selama sakit, Hendra berhenti bekerja karena harus bergantian merawa putranya bernama Ihsan juga Siti yang tergeletak lemah dipembaringan lantaran sakit yang belum diketahuinya itu.
**
Berita sakitnya Siti sebetulnya sudah seminggu ku dengar, aku tak menghiraukan, karena ku berfikir itu bukan sakit yang serius. Mungkin hanya maag saja karena yang ku tau, memang SIti tidak beraturan menjaga pola makannya, mungkin karena lambungnya sudah begitu sakit, hingga akhirnya batuk yang mengeluarkan darah. Umi Asfi (mba ku), terakhir mengabarkan kalau SIti sudah parah sakitnya, bahkan dia sudah meminta kedua orangtuanya untuk menemuinya dirumah mertua, khawatir tidak ada umur lagi.

Wah, ku seperti dibangunkan mendadak hingga ku terkaget mendengarnya. Ku coba hampiri rumah ibunya, ku bertanya secara langsung bagaimana kondisinya, kebetulan, Hendra ada di rumah Enggal, jadi ku bias mengetahui secara langsung dari mulut suaminya.

Baru kali itu ku menatap wajah lekat Hendra.. ku baru menyadari dibalik fisiknya yang legam lagi berotot itu, ternyata Hendra adalah suami yang lemah dalam melindungi istrinya Siti. Hendra sepertinya kebingungan bagaimana membantu pengobatan Siti yang sudah sekian hari tergeletak sakit. Bahkan saking bingungnya, Hendra berhenti sementara waktu dari pekerjaannya tapi di satu sisi, pikirannya tidak sampai untuk mengupayakan penyembuhan istri yang telah melahirkan anaknya. “Gimana mau kerja mba, Siti nya sakit ga sembuh-sembuh gitu,” kata Hendra.

Hendra lemah dalam mengambil keputusan dirawat di rumah sakit kah atau tidak? Kelemahan itu juga tampak dari 9 saudara kandung Siti lainnya. Yang mereka ketahui, setiap akan di rawat di rumah sakit pasti aka nada biaya yang harus dikeluarkan. Jangankan biaya rawat inap di rumah sakit, makan sehari-hari saja mereka susah.

Bukan bermaksud ingin menjelek-jelekan tetangga sendiri, tapi mungkin baru kali inilah aku menemui keluarga yang aneh. Keluarga ini gambaran kasarnya begini (maaf) sudah miskin, bodoh, malas bergerak dan tidak pedulian lagi.

Berkali-kali sudah ku jelaskan bahwa sebenarnya ada program jamkesmas dan jamkesmasda dari pemerintah, dijamin sepeserpun dalam pengobatan itu tidak di pungut biaya. Tapi sungguh mereka tidak menyambut antusias informasi yang ku sampaikan, yang ada ku hanya diperdengarkan dengan keluh-kesah mereka yang tidak ada inilah-itulah.. terlalu banyak pertimbangan hingga sakit Siti tak juga terobati.

Alhamdulillah, aku punya keluarga yang selalu mendukung langkah-langkahku, adikku, Zul orang yang paling setia menjadi ojek selama mengurus administrasi untuk mendapatkan jamkesmasda, meskipun jujur, awalnya ibuku juga ngomel. “Untuk apalah kau urusi orang itu, dia itu kan banyak sodaranya, satupun tak ada yang peduli. Urusi saja kuliahmu itu yang belum juga selesai sampai sekarang,” kata ibuku mengomeli ku. Memang tidak ada yang salah apa yang disampaikan ibuku itu, bukan yang pertama kami tetangganya membantu mengurus pengobatan gratisnya. Dan, sungguh, mereka tak kunjung cerdas menyelesaikan masalahnya sendiri, hingga diperlukan campur-tangan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya.

Tapi lagi-lagi ku hanya bias meyakinkan ibuku. “Bunda, kalau kita menolong orang Insya Allah, Allah akan menolong saat kita dalam kesulitan, yakinlah.. aku si, Cuma ga mau liat tetangga kita mati sebelum ajalnya dating karena ketidaktahuannya gimana mendapatkan haknya,” jawabku.

Saat tulisan itu ku buat, Alhamdulillah ku benar-benar telah menutaskan kewajibanku sebagai tetangga, semua berkas yang dibutuhkan untuk mendapatkan jaminan bebas biaya rawat inap pun sudah ku serahkan pada Hendra. Siti pun di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bandar Lampung. Diagnose awal, dia menderita TB Paru. Kemungkinan pemicunya adalah pikiran atas derita nasib miskin yang tak kunjung lepas dari kehidupannya, kemungkinan lain, Siti tertular dari emaknya yang juga menderita TB paru yang sampai saat ini belum terobati secara medis. (Aku tidak tahu lagi mau bagaimana).[]

Thursday, January 6, 2011

Aku Harus Jadi SARJANA


Terkadang, pujian itu memberi energi bagi orang lain untuk terus berkarya. Tulisan ini sengaja ku tuliskan berangkat dari sejumlah komentar pembaca yang sempat mampir ke blog ini. Sekali lagi terima kasih..Tapi benar, bukan sekadar pujian yang membuat jemari ini berasa ringan untuk bergerak, melainkan ada sebuah pikiran dan juga tujuan agar orang lain banyak mengetahui apa yang telah penulis lihat dan pikirkan..

Tak terasa, tahun mulai berganti.. Ku sudah melewati 28 tahun masa tumbuh kembang lantas menjadi orang dewasa yang hingga kini, Allah masih percayakan ruh ini bergabung bersama jiwa Eni Muslihah. jujur ku katakan, sesungguhnya, aku adalah manusia yang tertinggal. Manusia yang terlambat menyadari pentingnya perjalanan hidup ini. Manusia yang trkadang naik turun dalam menghargai waktu. Sungguh, ku adalah orang yang lalai.. Ntah bagaimana nantinya ku bisa menceritakan pada anak cucuku tentang perjalanan hidup ini yang serba tertinggal. Manusia yang sudah berumur banyak tapi tidak sepadan dengan pengalaman yang mestinya didapatkan.

Aku teringat pesan Abdul Hakim (tokoh lokal Lampung) dalam sebuah pertemuan. Dia menceritakan bagaimana kebiasaan masyarakat Jepang hingga hidupnya betul-betul terarah yang berjalan sesuai perencanaan. "Masyarakat Jepang itu dispilin dan bertanggung jawab," kata Abdul Hakim..Dia menceritakan, transportasi di Jepang selalu sampai tujuan persis dengan waktu yang dijadwalkan semula.

Setiap manusia, sebetulnya dibekalkan dengan ukuran otak yang sama, tapi mengapa, ada manusia yang tertinggal dan tidak jarang ada manusia yang terus maju melesat bagaikan kilat.. Sekali lagi Abdul Hakim mengatakan, bahwa hari ini tidak sama dengan besok atau kemarin atau lusa. Jadi jangan pernah menunda pekerjaan..Jika kau menghendaki kejayaan..Allahu Akbar...ku telah banyak melalaikan pekerjaan ku. Terima kasih guruku,, meskipun pesan itu tidak secara langsung kau sampaikan untukku, tapi ku merasa, kata-katamu telah mengingatkan ku untuk kembali mengejar ketertinggalan ku.

Tahun ini 2011 adalah tahun yang menuntutku untuk menuntaskan segala pekerjaan yang sempat ku tinggalkan lama. PR kuliah yang harus rampung hingga bulan Maret..Tapi sungguh ku akui, sangat dituntut kesabaran dalam mengikuti setiap tahapan-tahapannya. Ada saja sepertinya pengganjal yang menurunkan semangatku untuk menuntaskan tanggungjawab itu, tapi sekali lagi Ya Allah.. apapun yang terjadi, sekalipun seluruh kampus mencibirku, mengkerdilkan ku, ku takkan menurunkan semangat yang sudah terlanjur pasang..

Alhamdulillah, saat ini sudah sampai tahap ACC judul. Meskipun terkadang ku membaca skripsi teman-teman begitu menjelimet dan terkesan bertele-teleh,,tapi ku yakin, masa itu pasti kan ku lewati..Suatu saat ku kan mengibarkan bendera kemenangan dan menyandang status sebagai seorang sarjanawan dibelakang namaku akan ada sebuah gelar yang sangat dinantikan keluarga dan ibuku. Apapun predikat nilaiku, pokoknya aku harus jadi S A R J A N A. Ku kan pertanggungjawabkan semua amanah yang dititipkan oleh orangtuaku..

Selamat tinggal tahun 2010 dan selamat datang tahun 2011,, ku yakin pergantian tahun ini kan mengiringiku menjadi manusia yang jauh lebih matang dalam berfikir dan bijak dalam bertindak serta sukses mempertanggungjawabkan amanah.[]