ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Wednesday, August 4, 2010

Anak Bangsa Yang Merindukan Sejatinya Kemerdekaan

17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka, Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia

Merdeka...Republik Indonesia ke-65 tahun..berjayalah..

Penyambutan hari kemerdekaan tinggal hitungan hari. Penyambutan kemerdekaan kali ini berbarengan dengan penyambutan bulan suci umat Islam. Pernak-pernik penyambutan hari kemerdekaan nampaknya dari tahun ke tahun semakin melemas saja. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hari kemerdekaan memang terkalahkan dengan kedatangan bulan Ramadan yang jatuh pada tanggal 11 Agustus jika perhitungan Hilal tidak meleset, sehingga perhatian masyarakat terpusat kesana. Atau apakah rasa kebangsaan generasi sekarang mulai agak pudar.

Dua asumsi ini ternyata menyebabkan pedagang musiman bendera tidak merasakan kejayaan mereka manakalah hari kemerdekaan itu kelak kan tiba. Angkat saja kisah dari seorang pedagang musiman bendera yang berasal dari Bandung. Dalam satu rombongan ada tujuh orang, mereka mengotrak di depan rumah saya, mereka resmi mengotrak sekitar minggu ke dua bulan Juli. Minggu pertama kehadiran mereka, ibuku kebanjiran order membuat kopi dan gorengan (jadi pedagang dadakan juga). Dalam sehari mereka bisa memesan kopi 3 sampai 4 kali plus gorengan.

Semakin hari, pesan antar itu kian meredup. Suara pemesan kopi pun semakin sumbang. Sebelumnya mereka cukup teriak "Bu, Kopi dan gorengan tujuh ya"..Mendengar teriakan dari pemesan, ibuku pun bergegas ke dapur menyiapkan segala kebutuhan sang pemesan. Ibuku tidak merasa keberatan memenuhi permintaan sang pembeli, karena rombongan ini cukup pandai menyenangkan penjual. Mereka selalu bayar kontan setelah kebutuhan mereka terpenuhi. Begitu seterusnya rutinitas pagi, sore dan malam kegiatan baru ibundaku.

Semakin hari,teriakan itu semakin berkurang saja bunyinya. terkadang hanya sekali atau bahkan tidak sama sekali. Yang semula memesan kopi plus gorengan sekarang gorengan tak terdengar. Bahkan, mereka cenderung berhutang.

Usut punya usut melalui pendekatan sebagai seorang tetangga akhirnya mereka pun berterus terang. Dagangan berkarung-karung yang mereka bawa dari negeri kembang ternyata belum menunjukkan hasil yang baik. Tono (pemimpin rombongan) mengaku, dalam sehari terkadang belum tentu benderanya laku terjual. Hal senada pun dikatakan oleh rekan lainnya yang satu rombongan. Tujuh orang ini tersebar di sekitar Jalan Ahmad Yani, Diponegoro dan Antasari. Kesemuanya bernasib sama.

Mereka merupakan pedagang musiman bendera. Menjajakan bendera saat peringatan 17 Agustus bukanlah kali pertamanya. Tahun ini merupakan tahun ke empat, mereka menunjuk Lampung sebagai daerah sasaran, karena di Lampung mereka rasa prospeknya bagus. Setiap tahun sebelumnya, bendera yang mereka jual selalu ludes tak tersisa. Mereka pulang dengan tangan kosong dari barang. Rupiahlah yang menebal di dompet dan saku-saku mereka. Penuh dengan keceriaan saat mereka datang kembali ke kampung halaman.

Tapi kali ini nasib mereka tidak sama dengan tahun kemarin. Mungkin hal sama pun dirasakan oleh pedagang musiman bendera lainnya. Pulang dengan kemurungan atau bahkan mendapat semburan pedas dari pasangan mereka yang menanti dengan penuh harapan.

***

Saat penulis menuangkan apa yang dirasakan oleh pedagang musiman, kalender masehi bergeser ke tanggal 5 Agustus. Kemeriahan atau antusiasme masyarakat Lampung dalam menyambut hari kemerdekaan RI belum terasa. Sudut-sudut rumah belum juga mengibarkan sang merah putih yang diperjuangkan oleh pahlawan kita dengan keringat, air mata dan darah. Perjuangan yang tidak main-main. Tapi kini, 17 Agustus semakin tahun semakin kurang sakral saja. Terkesan hanya seremonial saja. Rasanya semakin kurang saja, orang tua-orang tua kita menceritakan bagaimana nenek moyang dulu merebutkan bangsa ini..

Penulis jadi teringat semasa kecil dulu. Guru Sekolah Dssar (SD) selalu menceritakan bagaimana ia dahulu hidup sulit di zaman penjajah. Pakaian ala kadarnya dengan karung goni dimana karung itu sangat gatal kalau digunakan, maka tidak jarang orang dahulu terserang penyakit gatal. Baju itu terpaksa digunakan karena yang terpenting menutup sebagian tubuh mereka. Belum lagi mereka harus bekerja paksa, tenaga mereka digunakan secara terus-terusan tanpa harus dapat asupan yang memadai.

Penderitaan orang terdahulu ber abad=abad, akhirnya menuai hasil. Indonesia merdeka dari tangan penjajah. Belanda dan Jepang pun akhirnya menarik pasukan dari Bumi Pertiwi ini. Kita merdeka karena ada sebuah kesungguhan, ketulusan dan kekompakan untuk memerdekakan Bumi Indonesia dari penjajah. Itulah nilai yang pantas diraih oleh orang terdahulu kita.

***

Penderitaan yang dirasakan oleh orang terdahulu ternyata hingga saat ini belum berakhir. Secara fisik Indonesia memang merdeka, 65 tahun Indonesia sekarang merdeka, tapi apakah kemerdekaan itu benar-benar merdeka? atau sesungguhnya aura-aura penjajahan di negeri ini masih berlangsung?

Sampai sekarang Indonesia masih di jajah oleh tahta dan kekuasaan. Dengan kekuasaanlah semua bisa di beli, termasuk hukum pun bisa di beli oleh orang-orang berkepentingan. Perkara hukum besar yang mana sih yang bisa terselesaikan sampai menimbulkan efek jera pada pelakunya? Sekalipun dia pejabat penting. Siapa yang kuat dia lah yang berkuasa. Yang miskin makin melarat yang kaya makin menjulang tinggi kekayaanya. Ketimpangan ekonomi yang selalu disorot dalam negeri ini.

Dari tahun ke tahun umur kemerdekaan kita terus bertambah. Upacara demi upacara, seremonial kemerdekaan pun terus terlaksana, tapi adakah kita mengambil pelajaran dari kemerdekaan itu sendiri? Semuanya terlewatkan begitu saja. Indonesia masih belum merdeka. Sama halnya nasib bangsa ini seperti pedagang musiman bendera yang penulis ceritakan di atas, melewati kemerdekaan ini dengan kemanyunan tidak dengan keceriaan yang diharapkan.

Dirgahayu Indonesiaku..

0 komentar: