ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Tuesday, February 10, 2009

Hikmah: Belajar dari Kehidupan Elen

Namanya Elen Stephani, usianya 28 tahun. Ia cacat karena 2 tahun yang lalu mengalami kecalakaan yang menyebabkan kaki sebelah kanannya tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Begini ceritanya. Suatu ketika Elen hendak pulang ke Lampung menengok nenek yang sudah lama tidak ia jumpai. Singkat cerita, dalam perjalanan Elen mengalami kecelakaan dan kakinya patah. Kalau toh, Elen menginginkan kakinya tetap ada, maka Elen harus menggunakan pen dalam dan luar untuk memomisikan kakinya tetap tegak. Sementara, selidik punya selidik, orang yang menabrak Elen juga bukan orang yang berada. Perekonomiannya terbatas, hanya bisa memenuhi kebutuhan pribadi.

Alih-alih, Elen memutuskan untuk tidak membebankan pihak penabrak. Dia mengurus sendirian pengobatan pasca tertabrak. Biaya yang dibutuhkannya tidak sedikit. Setiap bulan Elen harus kontrol ke dokter. Kalau toh, Elen ingin mendapatkan perawatan yang layak, ia harus menemui dokter spesialis. Tapi kalau kocek tidak memungkinkan, Elen meski berlapang dada untuk dijadikan bahan praktik dokter-dokter baru dan siap tidak diperlakukan selayaknya pasien yang tengah membutuhkan pertolongan. Begitu seterusnya kehidupan Elen selama 2 tahun belakangan.

Elen adalah seorang anak, seorang kakak, seorang istri yang sudah di cerai oleh suaminya dan seorang ibu dari satu anak. Namun sayang, kerabat-kerabatnya tidak sepenuh hati menerima Elen yang kini telah cacat. Ia mengurus semua kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya, Elen bekerja sebagai buruh Laundry.

Semangatnya hidupnya luar biasa, tampak sekali keceriaan yang terpancar dari wajah mungilnya. Sinar wajahnya seolah-olah mengatakan, ”Saya tidak ingin dikasihani siapapun dan Saya mampu hidup meskipun dengan satu kaki”. Tekad yang membaja itu, membuat wanita berambut lurus ini tetap bertahan hidup. Berjuang untuk kesembuhan kakinya.

Ada alasan mengapa Elen tetap bertahan hidup dengan kondisi yang serba terbatas. Satu hal yang membuat semangat. Yah.. dia adalah anak, permata hati, penyemangat jiwa dan penggelora semangat. ”Cuma anak mba yang bisa membuat saya bersemangat untuk memperjuangkan hidup ini,” tutur Elen dengan suara lirih.

Satu ketika pernah Elen berniat mengakhiri hidup. Tidak tahan dengan cobaan hidup. Elen juga pernah berfikir bahwa sepertinya tidak ada manusia yang jauh lebih menderita selain dirinya. Dan sepertinya, Tuhan, tidak ada disampingnya untuk membimbing hidup yang kian hari tidak menentu. Suami minta pisah, lantaran kondisi Elen yang tidak sempurna lagi, sanak saudara tidak memedulikan ia lagi. Sepertinya, kematian jauh lebih menyelesaikan permasalahan ketimbang harus hidup serba kekurangan. Tapi, lagi-lagi, anak selalu muncul kala rasa putus harapan itu muncul. Urunglah niatan untuk mengakhiri hidup.

Tuhan itu akan menuruti prasangka hambaNya. Itulah yang Elen rasakan. Semakin ia merasa optimis menghadapi hidup, maka ada saja jalan untuk memenuhi kebutuhannya. Semakin mutus harapan, maka ia pun merasakan betapa Tuhan telah menjauh darinya. Elen pasrah menghadapi hidup. ”Apapun yang Allah kasih pada saya saat ini, inilah yang terbaik buat saya,” kata wanita yang dulunya pernah menjadi pengamen jalanan di Jakarta.

Sebelumnya, Elen berencana mendonorkan ginjalnya pada orang lain. Hasil donor ginjal itu, rencananya untuk biaya operasi aputasi kaki kanannya. ”Yang ada di kepala saya saat itu, saya tidak ingin terus-terusan membiayai perawatan kaki yang tengah di pasang pen ini,” ungkapnya. Menurutnya, dengan diaputasi, ke depan tidak akan ada biaya-biaya perawatan kaki yang kian hari kian kecil dan memendek dari semula.

Elen tidak tahu berapa harga ginjal yang akan ia donor itu. Yang terpenting bagi dirinya, kaki kanan teraputasi dan mungkin perkara satu akan terselesaikan. Elen berharap, kehidupannya akan berjalan normal meskipun tanpa satu kaki.

Pendonoran ginjal pun sudah disepakati kedua belah pihak. Pihak ke dua sangat senang sekali, karena Elen tidak menghargakan pasti ginjalnya. Elen hanya terpikir bagaimana caranya ada biaya mengaputasi kaki kanannya.

Waktu terus berjalan. Keyakinan Elen mendonorkan ginjalnya pada orang lain kian mantap, tak kenal mundur, tak terpikirkan olehnya bagaimana ke depan hidup dengan satu ginjal dan satu kaki. Dia begitu yakin, usahanya kali ini benar-benar memudahkan kehidupan seterusnya.

Tapi rupanya Tuhan berkata lain. Allah menjawab keoptimisan Elen dalam menjalani hidup. Sehari menjelang pendonoran ginjal, Elen dipertemukan oleh seorang pria yang punya jiwa empati yang begitu tinggi. Pria itu tidak menghendaki Elen mendonorkan ginjalnya. Pria itu, ingin mewujudkan cita-cita Elen yang menginginkan kaki kanannya tetap dirawat sebagaimana mestinya. Pria itu ingin terus melihat wajah ceria Elen, ingin melihat Elen tetap bahagia meskipun nikmat berjalannya di cabut oleh Allah.

Dia lah Ahmad Jajuli. Kelembutan hatinya yang membuatnya ingin terus berbagi kebahagiaan pada orang lain. ”Saya begitu terharu mendengar perjuangan Elen dalam menghadapi hidupnya,” kata Jajuli, kepada Beranda Keadilan.

Elen tidak pernah mengira kalau cita-citanya akan terwujud. Hingga tulisan ini diturunkan, baru kali pertamanya Elen melihat secara langsung sosok Ahamd Jajuli. Menurut Elen, bapak berputra satu ini bersahaja, lebih tampilannya jauh lebih muda dan ganteng dari fotonya yang ada di kartu nama, bannner dan stiker. Elen bahagia bisa bertatap wajah langsung dengan Jajuli. Tidak ada kata yang terucap selain terima kasih dan doa yang terus Elen panjatkan untuk Jajuli.

Selamat ya Elen, semoga kau tabah menghadapi hidup ini.