ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Tuesday, March 15, 2011

Sekelumit tentang Gang Dolly

sebuah perjalanan dapat dikatakan indah, apabila orang yang mendapat kesempatan itu, dapat mengabadikan perjalanannya itu dalam sebuah cerita yang tertuang dalam tulisan. Kali ini, aku ingin mencoba kembali menceritakan pada rekan blog sekalian bagaimana, hari-hari ku selama 1 minggu berada di Surabaya. Tentunya saya tidak akan menceritakan hari per hari selama di sana, saya hanya akan berbagi pada sesuatu yang menurut saya memang laik untuk dibagi.

Oya, sebagai informasi awal, bahwa sebetulnya keberadaan saya disana dalam rangka mengikuti pelatihan jurnalis radio dalam perspektif informasi public. Pelatihan ini menghadirkan 20 peserta dari berbagai daerah yang difasilitasi oleh Alwari bekerjasama dengan Yayasan TIFA, Media Link dan Komisi Informasi Publik (KIP).

Hari pertama hingga hari ke-empat, kami 20 peserta ini begitu antusias mengikuti pelatihan. Peserta mendapat wawasan apa sebetulnya KIP itu dan informasi public yang seperti apa sebenarnya masyarakat berhak mengetahui dan berhak mengakses informasi tersebut. selain itu, kami juga diberi pemahaman bagaimana sebaiknya media memposisikan diri dalam kaitannya UU KIP.

Selesai dari pelatihan, saya tidak segera pulang ke daerah asal. Saya, juga teman lainnya, coba menjelajahi sebagian tempat bersejarah Kota Surabaya. Sehari pasca pelatihan, saya mengunjungi monument kapal selam, museum Rokok Sampoerna, Museum Pahlawan, jembatan yang sempat menimbulkan kesowatan antara SBY dengan Megawati yakni jembatan Suramadu dan malam harinya ke lokalisasi terbesar se- Asia Tenggara nan legal. Dolly orang menyebutnya.

Hmmm… Dari sekian lokasi yang saya kunjungi, satu lokasi yang pasti teman-teman juga akan tergelitik lidahnya untuk menceritakan kembali suasana di Lokalisasi Dolly. Kebetulan, waktu kami mengunjungi lokasi itu pada malam hari. Konon, justru pada malam harilah, suasana akan semakin hidup.

Mobil Timor tua yang kami tumpangi memang sudah kami atur kecepatannya antara 15-20 KM saja. Tak jauh dari pintu masuk Gang Dolly terdapat masjid. Nampak beberapa jamaah berangsur-angsur meninggalkan masjid usai menunaikan sholat isya. Yasin, sebagai pemandu kami sembari mengendalikan laju mobil yang kami tumpangi juga memberikan sedikit tentang kehidupan masyarakat di sekitar Gang Dolly.. Nampak para lelaki “Broker” berjajar sepanjang jalan, sebagian dari mereka melambaikan tangannya, menandakan meminta kurangi kecepatan bagi pengguna jalan. Isyarat itu juga pertanda, “Mas-mas, lihat loh saya punya barang oke, mampirlah barang sejenak saja”…

Sepanjang kami menyisiri Gang Dolly, kami melihat rumah-rumah bagaikan akuarium. Dimana didalamnya adalah wanita-wanita berpakaian seksi yang siap memberikan kepuasan lelaki hidung belang. Antara satu rumah dengan rumah lainnya memperdengarkan music yang volume suaranya memekakan telinga. Tidak jarang ditemui plank Club Karaoke berlogo “Bir Bintang”. Club-club itu ada yang Nampak terang benerang ada juga yang remang-remang.

Menurut keterangan Yasin yang pernah melakukan liputan di lokasi Dolly, tariff yang ditawarkan perempuan tuna susila di Gang Dolly ini bermacam-macam. Kisarannya antara Rp 85 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung nilai kepuasan dan keoriginalan si wanitanya (mungkin). Dalam 1 bulan, penghasilan si wanita tuna susila di Gang Dolly ini, menurut Yasin minimal mengantongi sedikitnya Rp 8 juta.(hmmm…banyak juga ya).

Tapi, ada yang menarik dari cerita Yasin, bahwa sebenarnya para wanita yang menjajakan dirinya di Gang Dolly ini, ternyata bukan korban trafficking (perdagangan manusia), mereka bias ada di sana karena kesadaran diri sendiri yang ingin mendapatkan uang banyak secara mudah dan singkat. Dan satu lagi keunikannya, bahwa disekitar lokalisasi itu juga disiapkan perpustakaan, konon diperuntukan bagi anak-anak PSK, agar mereka juga dapat akses keilmuan, kelak mereka tidak menjadi seperti orang tuanya.
**
Hmmm… begitulah sekelumit cerita Gang Dolly yang bias saya sampaikan. Miris rasanya dada ini melihatnya, hingga sesampaikan kami dipenghujung Gang Dolly, kami betul-betul menghenduskan nafas kelegaan. Yang saya ketahui, Surabaya adalah kota besar. Yang saya ketahui, Surabaya kota yang tertata rapih dan tertib lalu lintasnya. Surabaya yang saya ketahui adalah kota santri, tapi yang saya ketahui juga bahwa Surabaya juga kota yang besar tingkat kemaksiatannya.

Pertanyaan besar dalam benak saya, apa alas an pemerintah Surabaya melegalkan lokalisasi itu? Mungkin pertanyaan ini terkesan “lugu” tapi sungguh, sebagai orang yang menganut budaya timur, saya merasa asing dengan kebijakan pemerintah daerah setempat. Dan yang membuat saya semakin penasaran, kemana suara para ulama di sana? Yang saya tahu, ulama paling pinter buat fatwa, tapi mengapa untuk kasus yang satu ini, saya tidak pernah dengar fatwa ulamanya?

1 komentar:

mukena murah on May 15, 2011 at 6:52 AM said...

Gang Dolly.. Ihh.. ngeri...