ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Sunday, October 31, 2010

Maimunah dan Kampung Halamannya

Mukena tipis lagi kusam berbintik hitam dibagian kepala membaluti wajah dan tubuh perempuan tua itu. Kedua telapak tangan dan wajahnya mengenadah ke atas, matanya terpejam mulutnya berkomat-kamit. Khusuk sekali. Ntah apa yang menjadi permintaan pribadinya kepada Tuhannya. Setelah lama ia bermunajat, perempuan tua ini membanting-banting pelan tasbih sambil mengeleng-gelengkan kepala. Terdengar sayup-sayup kalimat yang mengagungkan kebesaran Tuhan. “la ila haillallah”

Selang beberapa menit, dia mengakhiri ritual penghambaannya,membuka mukena kusam itu sambil menengok ke arahku lalu melontarkan senyuman, gigi besar-besar yang tersusun rapi menghiasi senyumannya sambil bertanya padaku

“Kamu sudah makan? Bibi’e laper,” tanya perempuan tua ini kepadaku sambil melipat mukena dan sajadah.
“Sudah be’ dari tadi aku tunggui be’ Munah biar bias makan malam bareng tapi be’ Munah masih asyik berdoa,”
“Memang be’ Munah minta apa sih? tanyaku.

Be' Munah kembali melontarkan senyumannya, sambil beranjak dari tempat solat. Rambut pendek yang dipenuhi dengan uban terurai. Be' Munah Nampak lebih tua saat penutup kepalanya terlepas. Tubuhnya kurus, berdirinya tidak setegap tiang bendera di luar sana. Tubuh kurus, bungkuk lagi keriput itu menghampiri ku yang tengah menikmati makan malam yang tak jauh dari tempat solat. Sungguh Be' Munah tak mampu berjalan lebih cepat dari ibuku yang usianya 5 tahun lebih tua dari Be' Munah, kondisi itu sungguh tak sebanding dengan usianya yang baru mencapai 57 tahun.

“Minta macam-macam sama Allah, termasuk minta kelak kamu nanti dapat jodoh yang baik lagi saying sama keluarga kamu,” jawab Be' Munah.
“Be’e nda mau kamu jatuh ditangan lelaki yang tidak bertanggung jawab sama keluarga,”
…”Be’e nda mau pengalaman pahit keluarga Be’e dulu terulang kembali di keluarga anak dan keponakan Be’e,”
…”Cukuplah aku saja yang mengalami kondisi pahit hingga usiaku tua begini,” jawabnya panjang lebar, sesekali Munah tersendat suaranya, memalingkan wajahnya dariku dari rasa sedih yang tak kuasa ia bendung.

**
Oh ya, perempuan tua ini adalah bibi kandungku. Dia adalah adik perempuan satu-satunya dari almarhum ayahku. Namanya Siti Maimunah kami para keponakan kerap memanggilnya Maimunah dengan sebutan Be’ Munah. Kalau dirunut dari silsilah Be’ Munah berdarah Aceh dan Makasar, namun lahir dan besar di Bali serta menjalankan kehidupan rumah tangga di Lampung tepatnya di Desa Sekampung Udik. Pugung Raharjo.

Pugung Raharjo dikenal sebagai tempat bersejarah Zaman Purbakala. Dahulu, di masa kecilkui, sering ditemukan pernak-pernik bersejarah seperti sendok, piring, mangkuk logam atau perabot rumah tangga zaman kerajaan. Di Pugung Raharjo juga ditemukan punden berundak-undak, konon punden tersebut dahulu dipergunakan untuk melakukan ritual sembahyang raja dan pengikutnya.

Bukti lain kalau di tempat Maimunah adalah bekas peninggalan sejarah, menurut cerita warga setempat, di Taman Burbakala juga terdapat tempat pemandian putri atau permaisuri raja dan di sana juga terdapat menhi-menhil tertuliskan sansekerta, yang tersusun sejak zaman dahulu kala.

Sayang, pemerintahan Lampung kurang memperhatikan situs-situs bersejarah yang tertinggal di Bumi Sekampung Udik, Pugung Raharjo, taman tersebut tidak terawat, warga sekitar memanfaatkan lahan sekitar taman untuk berkebun. Berdasarkan cerita masyarakat setempat, tempat pemandian sang putri raja itu, tidak pernah mengalami kekeringan dan kejerneihan airnya tetap terjaga, meskipun kemarau panjang dan hujan silih berganti.

Masyarakat di sana meyakini, bahwa peninggalan bersejarah itu telah dijaga oleh makhluk halus, sehingga tak satupun orang dapat mencuri atau secara sengaja merusak taman kerajaan Purbakala itu.
**
Pugung Raharjo merupakan wilayah pemekaran di era runtuhnya Soeharto, Pugung Raharjo masuk dalam wilayah Lampung Timur. Sebagian besar penduduknya ber suku Jawa, Lampung dan Bali, sisanya adalah ber suku Sunda dan Padang. Sebagian besar penduduk di sana merupakan pendatang yang terus berkembang turun-temurun. Maimunah sendiri transmigran dari Pulau Dewata pasca Gunung Agung meletus pada tahun 1963 lalu.

“Waktu aku, bapakmu, embahmu pertama menginjak Lampung kondisinya masih hutan belantara. Kondisi itu yang membuat sebagian besar transmigran pulang kembali ke daerah asalnya. Hanya orang-orang kuat saja yang pada akhirnya terus beranak-pinak di Lampung kala itu”

“Aku, keluarga bapakmu dan pamanmu termasuk golongan yang terseleksi oleh alam,” kisah anak perempuan satu-satunya keturunan pasangan Halimah-Ma’dan.

Banyak orang mengatakan bahwa Lampung merupakan miniature Indonesia. Berbagai suku di negeri ini ada di sana, meskipun mereka mementap secara turun-temurun, lahir dan besar di sana, namun pendantang itu tidak fasih berbahasa Lampung. Masing-masing mereka membawa dan menggunakan bahasa sendiri. Maimunah sendiri sama sekali tidak faham dengan bahasa Lampung meskipun ia bergaul dengan mereka. Tapi Maimunah fasih berbahasa jawa selain bahasa ibu (Bali).

Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian tani. Namun bukan petani yang bebas menggarap ladangnya sendiri, melainkan petani upahan. Berdasarkan catatan statisktik tahun 2009, Lampung Timur merupakan kabupatern termiskin di Lampung.

Menurut catatan Kepolisian Daerah Lampung, Lampung Timur merupakan daerah rawan begal dan perampokan. Sebagian besar pelaku kejahatan yang ada di Lampung berasal dari Lampung Timur. Sementara catatan Badan Nasional Penganduan dan Penanganan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Lampung Timur termasuk daerah terbesar pengirim tenaga kerja sebagai buruh atau pembantu rumah tangga ke luar negeri. Hingga, catatan BNP2TKI juga mengatakan, bahwa Lampung Timur memiliki pasar yang sebagian besar penghuninya adalah eks TKI, pasar ini terletak di antara Simpang Sribawono.
**
Untuk menuju Pugung Raharjo dibutuhkan waktu tempuh selama 1,5 jam idealnya, kondisi jalan yang penuh dengan gelombang dan kubangan ikan akhirnya jarak tempuh itu bias melebihi dari semestinya. Sementara kalau diperhatikan kiri-kanan jalan terdapat perusahaan besar yang terus berproduksi hingga saat ini.

Demikian dengan siswa yang menempuh pendidikan di Pugung Raharjo atau secara luas Lampung Timur, banyak guru yang tidak berani member nilai merah di raport siswa mereka, apalagi sampai memberi stempel tidak naik, maka artinya guru dihadapkan dengan sebuah golok di atas meja.

Begitulah kondisi secara menyeluruh kampong halaman Maimunah. Terbelakang dan k eras meskipun tidak jauh dari Ibukota Provinsi Lampung. Meskipun demikian, Maimunah tetap memilih Pugung Raharjo sebagai tempat tinggalnya, sebagai tempat pendidikan bagi ke enam anaknya. Sekalipun Maimunah melangla buana, Maimunah tetap terus kembali ke sana, karena di sana menyimpan sejuta pengalaman susah dan senang selama ia menjalankan roda kehidupan.(BERSAMBUNG)