ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Thursday, December 18, 2008

Kemacetan Membawa Berkah

Hari Kamis (18-12), Bandarlampung hujan deras selama 2 jam. Saking derasnya, beberapa jalan protokol di daerahku tergenang banjir yang merandam rumah sekitar hingga menutupu badan rumah. Akibat banjir itu, jalan utama Jl. Teuku Umar macet total.

Pada hari itu, dipastikan semua jalan tidak ada yang lengang, semuanya padat kendaraan. Hari itu juga bertepatan dengan agenda rutin mingguan. Saat mau pulang terlihat jalanan udah padet dan sulit dilalui kendaraan. asap kendaraan begitu pekat, belum lagi sahut-sahutan klakson kendaraan motor dan mobil. Semua pengguna jalan tidak ada yang mau mengalah. Semuanya berebut mau duluan sampai ke tujuan mereka masing-masing, termasuk juga saya.

Asap pekat kendaraan menghembus-hembuskan ke wajahku. Tak tahan rasanya menghirup polusi udara dan mendengar bising klakson. Tapi itulah nasib, keberadaan aku ditengah kemacetan tak terhindarkan. Jalan mau menuju kerumah yang semetinya bisa ditempuh dengan waktu 15 menit, eh.. ini harus bersambar sampai 1 jam. Udah itu, sampainya ga' ke rumah lagi. melainkan ke rumah keponakanku Ahda Sabila. (Emang di suruh silaturahim kali ya).

Asli deh, hari itu sangat membosankan. Tahukah kalian, mestinya hari itu saya harus menyelesaikan laporan keuangan LSM ku ke Pemda. Laporan harus terkumpul tanggal 20 Desember. Karena insiden itu, beberapa pekerjaan harus di panding dulu. Kalau mau turutin nafsu, emang sebelnya ga' ketulungan. Tapi yah... sekali lagi, inilah Eni, orangnya selalu berusaha menikmati apa yang terjadi pada diri ini. Biar hujan mengguyur badan yang belum sembuh amat plus kena polusi udara, semua di bawa enak aja bo! Kan Allah yang punya badan ini. Bukan begitu saudara?

**

Pagi pukul 07.30, lagu Bangkitlah Negeriku Harapan itu Masih Ada, mendendang dari ponselku, tertanda ada panggilan masuk. Hardi menelpon. Dia minta jam segitu juga aku harus mengantarkan motor yang ku pinjam darinya, katanya mau anter nasi ke posko banjir. "Mmmm...gimana ya di, aq belum mandi. Tapi tetap aku usahakan sampe ke sana secepatnya," jawabku yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidur yang ku teruskan badah subuh.

Mengingat, motor ini harus kulu-likir ke beberapa lokasi, akhirnya tanpa basuh muka apalagi mandi, aku ngloyor aja menuju tempat kerjaku. Alhamdulillah, jalan ga' begitu macet, jadi bisa sampai lokasi 10 menit dari tempat keponakanku.

Sesampainya dikantor, aku langsung meneruskan pekerjaan yang belum terselesaikan. Aroma tidak sedam perlahan-lahan mulai tercium dari badanku sendiri. "Bau apa ini ni, lo belum mandi ya," kata Sabiq, orang pertama yang aku temui di kantor. Cuek aja lagi, kambing ga' mandi aja laku, masa' seorang eni ga' laku lantaran ga' mandi.he3x...

Oya, sebetulnya dari cerita panjang lebar, ngalor-ngidul ini, aku pengen kasi tau sama temen-temen. Ternyata kesabaran dan berusaha untuk berkomitmen nepatin janji itu ada buahnya. Tahukah kalian, sampai saya menuliskan kisah sederhana ini, temanku yang bernama Mardiati, Aku panggil dia "Jo" (maknanya cukup orang-orang saya aja yang tahu), saat ini tengah membantu menyelesaikan laporan yang mestinya terkumpul besok. Dia serius banget ngerjainnya, sampe-sampe lupa makan (ga' ada duit kali.he3x..).Tapi agaknya ga' mungkin besok dikumpul, tau sendirilah kantor pemerintahan mah, mana ada yang kerjanya lebih dari 8 jam apalagi lebih dari 5 hari.

Jadi teman, hikmah yang mau saya angkat sekarang adalah, apapun yang terjadi pada diri kita tetaplah bersabar dan jangan berpancing emosi sesaat. Dari kejadian macet itu, aku jadi suka pandai mengamati prilaku orang. Jadi, orang itu akan terlihat sifat aslinya kalau sedang dalam kondisi panik dan menegangkan.[*]

Monday, December 15, 2008

Eni! Apa Kontribusi mu untuk Perempuan?

Kemarin Senin (14-12), saya bersama teman ikut partisipasi aktif menyelenggarakan pelayanan kesehatan gratis. Kegiatan ini terlaksana kerjabareng Pos Kesehatan Peduli Umat (PKPU) dan Indosat.

Kegiatan ini terlaksana sudah yang kesekian kalianya. Titik sasarannya adalah daerah yang jauh dari pusat pelayanan atau daerah yang bisa terbilang miskin. Bentuk aksi sosialnya, dari pemeriksaan kesehatan, memberikan makanan tambahan baik pada balita maupun ibu hamil dan menyusui serta pelayanan USG gratis.

Dari satu tempat ke tempat lainnya, kami selalu mengalami pembludakan pasien. Targetan awal kami selalu meleset. Saking membludaknya, saya yang semestinya punya job sebagai kuli tinta atau fotografer suka beralih jadi apoteker bahkan asisten dokter. Nensi darah, kasi nasehat pasien sampai meracik obat-obatan. “Wih.. lama-lama ibu wartawan satu ini bisa ahli di dunia apoteker,” kata salah satu teman yang memandu perjalanan kami.

Tapi bukan itu inti yang akan saya ceritakan pada temen-temen.

Perlu diketahui, sebagian besar pasien yang ditangani oleh tim medis adalah kaum hawa. Hamper bisa saya perkirakan mereka berpendidikan rendah, tidak punya banyak pengalaman dan miskin. Secara kasap mata, menurut saya, ibu-ibu itu masih bisa diarahkan dan di bentuk jadi manusia yang berdaya secara skill dan kecerdasan.

Saya punya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) namanya Lembaga Pemberdayaan Keterampilan Perempuan (LPKP) sekupnya tingkat Kota Bandar Lampung saja. Visinya pengen semua perempuan khususnya Bandar Lampung cerdas dan berakhlak. Misinya, perempuan punya keterampilan sehingga bisa mandiri, kalau sudah mandiri pasti punya waktu untuk mencerdaskan diri secara fikriyah dan ruhiyah. Kalau sudah cerdas secara fikriyah dan ruhiyah, maka rumah tangga akan tentram dan mampu melahirkan dan mendidik generasi penerus jadi anak yang solih dan solihah.

Kalau sudah begini, cita-cita mau punya Negara yang madani jadi segera terwujud. Inget! LSM ini didirikan bukan dengan niatan menjadikan kaum adam sebagai saingan. Tapi menjadikan pria sebagai mitra untuk mewujudkan cita-cita bersama. Saya sangat anti dengan gerakan feminisme. Ga’sesuai dengan Alquran dan Assunah. Dari jaman bahela Allah ga’ pernah beda-bedain hambaNya.

Tahukah wahai teman-teman? Bandar Lampung itu bukan desa melainkan perkotaan yang notabene orang-orangnya dan segala sesuatunya jauh lebih maju dari desa. Ga’ usah jauh-jauh deh. Ditempat tinggal ku yang terletak di jantung kota saja, kaum ibu atau perempuan, masih jauh dari berpikir maju. Mengapa? Karena masih banyak perempuan modern yang enggan membagikan ilmunya pada sesame kaumnya.

Ditempat tinggal ku, masih banyak anak gadis yang tidak menyelesaikan sekolah karena orang tuanya tidak punya biaya. Ditempat tinggal ku, masih banyak ibu yang tidak mengenal angka dan huruf. Ditempat tinggal ku masih ada ibu yang tidak tahu nilai mata uang. Masya Allah!!! Ini real world….gitu salah satu temen diskusi ku bilang. Katanya, hidup itu tak selamanya bagus dan mulus. Mesti buka mata buka telinga bo!

Kemana aku selama ini? Objek dawah depan mata! Aku selalu disibukkan dengan urusan besar tapi melupakan urusan kecil. Mungkin ini jawabannya, kenapa masih banyak di sudut kota ini perempuan yang belum berdaya. Karena masih banyak orang yang sama seperti aku. Orang yang mementingkan diri sendiri dan mau menang sendiri. Orang yang ingin terlihat ‘Wah’ dan seterusnya. (Wah,ga bener aktivis dawah begini)

Ya Allah.. aku tidak main-main untuk mewujudkan impian ini. Ya Allah… yang maha membolak balikkan hati manusia. Hari ini aku sangat bersemangat menjadi agen perubahan itu Ya Allah… teguhkan hati ini untuk mewujudkan itu semua. Tuntun hamba Mu ini. Jangan Kau biarkan waktu-waktu ku habis hanya untuk mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Aku serahkan hidup dan mati ini hanya pada Mu. Amin…

Saturday, December 13, 2008

Cerpen: Serpih Persahabatan

PUKUL 06.00, telepon seluler Sari berdering sekali, menandakan pesan singkat masuk ke ponsel-nya. Sari memang punya kebiasaan yang tidak bagus, sehabis salat subuh Sari sering melanjutkan mimpi yang sempat terputus. Tidak jarang ibunya selalu menasihatinya supaya jangan meneruskan kebiasaan buruknya.

"Bangun Nak, katanya kau mau pergi pagi ini," kata ibu Sari, sambil membuka jendela kamar Sari. "Kebiasaan mu ini jangan diteruskan, gimana kalau kamu nanti berumah-rumahan alias berumah tangga kelak. Kasihan suami mu Nak," ujar Ibu Sari. "Tuh, ponsel kamu bunyi," kata ibu Sari, sambil menunjuk ponsel putri bungsunya.

"Makasih ya Bu udah bangunin aku. Tapi Bu, ini kan baru pukul 06.00," jawab Sari sambil meraba-raba mencari ponsel-nya yang baru saja berdering. "Maaf Bu, semalam aku tidur agak malam, jadinya ngantuk berat," sahut Sari, sambil membuka pesan singkat yang mengusik tidur paginya.

Ternyata pesan singkat itu asalnya dari Dea, sahabat Sari. Dea berusia jauh lebih di atas dari Sari dan Dea sudah berkeluarga. Sekarang Dea memiliki tiga anak yang lucu-lucu, Sari pun sangat menyenangi ketiga anaknya itu. Walaupun usia Dea terpaut jauh dengan Sari, Dea bisa mengimbangi pertemanan mereka. Makanya, persahabatan mereka lumayan langgeng.

"Ups, SMS dari Mba Dea," kata Sari sambil menunggu pesan yang ingin disampaikan Dea terbuka. Maklumlah ponsel Sari bukan barang mahal, jadi menunggu pesan terbuka semua membutuhkan waktu beberapa detik.

Betapa terkejutnya Sari membaca pesan yang berisikan ungkapan kekecewaan Dea pada Sari. "Ri, apa perlu aku hadir pada rapat tanggal 17 September itu? Sepertinya Kau sudah bisa jalan tanpa aku. Maaf ya Sar, semaleman aku gak bisa tidur mikirin tabloid. Aku malu namaku masih nampang di situ, sedangkan tak satu pun tulisan maupun konsepku muncul di sana. Kalau kau memang bisa kerjakan sendiri silakan saja," begitu pesan yang disampaikan Dea pada Sari.

Dea dan Sari memang terlibat sebuah organisasi besar. Mereka berdua satu tim. Bidang yang mereka geluti adalah informasi publik. Salah satu produknya Sinar Abadi. Selama ini Dea bertanggung jawab atas penerbitan karena kesibukannya sebagai seorang pekerja di salah satu instansi swasta dan sebagai seorang ibu yang harus mengasuh ketiga anaknya, akhirnya terbitnya Sinar Abadi sering tertunda. Sementara itu, Sari adalah seorang mahasiswi semester akhir di perguruan swasta tempatnya tinggal. Waktu luang yang dimiliki Sari relatif banyak, karena tidak ada lagi jadwal perkuliahan yang harus di tempuh Sari. Makanya, Sari sering muncul dan mengaktualisasikan kegemarannya sebagai penulis di organisasi itu.

Sari terdiam usai membaca pesan dari Dea. Tanpa sadar, Sari telah mengabaikan ibunya yang terus saja berbicara padanya.

"Sar, kamu denger ibu kan?" tanya ibunya.

"Maaf bu. Ibu tadi bilang apa?" Sari balik bertanya pada ibunya, yang baru tersentak dari lamunannya.

"Kamu ini masih pagi udah ngelamun. SMS dari siapa? Ibu tadi bilang buruan cuci piring, tapi ibu sudah nyapu halaman depan," lanjut wanita paro baya itu pada putri bungsunya.

"Tenang Bu, itu udah jadi kewajiban Sari. Pasti aku kerjain. Sari gak bakal pergi sebelum pekerjaan rumah selesai," celoteh Sari pada ibunya, sambil menutup pesan dari Dea. Sari tidak sempat membalas SMS Dea, keburu ibunya bicara panjang lebar. Langsung saja Sari beranjak dari tempat tidurnya, bergegas mengerjakan tugas rutinnya.

***

Seminggu sudah Sari tidak menjalin komunikasi pada Dea lewat SMS. Sari masih bingung harus menjawab bagaimana pesan Dea. Sampai akhirnya mereka harus bertemu. Gadis berkulit hitam manis itu mencoba meraba-raba perkataan dan sikap apa yang membuat Dea jadi marah. Tiba-tiba muncul dalam benak Sari Tabloid Sinar Abadi.

"Ups. Kenapa sewaktu ini terbit, aku gak pernah konfirmasi dengan Mba Dea ya," jujur Sari pada dirinya sendiri. Bahkan, yang membuat Dea lebih kesal, tabloid itu sampai ada di tangannya, tak sepatah kata pun Sari memberi tahu, baik lewat SMS maupun yang lainnya. Padahal, sebelumnya Dea sudah mengirim pesan pancingan. Harapan Dea, Sari akan memberi tahu terbitnya dari mulut Sari.

"Oh Sari! Betapa bodohnya kau ini, kenapa pula gak bilang-bilang kalo Sinar Abadi sudah terbit," keluh Sari pada dirinya sendiri.

Sari bingung bagaimana menjelaskan keteledorannya itu pada Dea. Tak lama kemudian, Sari teringat Arman, atasan Sari dan Dea. Sari berpikir Arman adalah orang yang tepat menyelesaikan masalah uang sedang dihadapinya. SMS yang Dea kirimkan sepekan lalu pun langsung di-forward ke Arman. Arman pun membalas SMS Sari.

"Sar, masalah ini miskomunikasi aja. Kesalahan sepenuhnya tidak cuma di Sari aja, Saya yang tanggung jawab. Nanti saya menghubungi Dea, tetep semangat ya...!" pesan balasan Arman pada Sari.

Kini Sari mulai tenang. Berharap pada Arman masalah ini selesai dengan baik-baik. Tiga hari berikutnya, Sari bertemu Arman di salah satu tempat tanpa sengaja. Sari pun menanyakan kembali perkembangan masalahnya.

"Gimana urusan kita, selesai?" tanya Sari pada Arman, mengawali perjumpaan mereka.

"Oh.. saya belum menghubunginya. Nantilah cari waktu yang tepat. Sekarang saya masih banyak urusan. Sabar ya," jawab Arman dengan meyakinkan Sari.

"Pokoknya saya gak mau masalah ini kelamaan. Saya udah kangen sama anak-anaknya. Saya berharap ending bagus!" pinta Sari.

"Ya dah...tenang Bos," timpal Arman.

Belum sempat Arman menghubungi Dea untuk membicarakan permasalah itu, keesokan harinya Sari dan Dea bertemu di sebuah pesta pernikahan rekan mereka. Sari merasa kikuk. Pertemuan ini tidak seperti biasanya. Ada sekitar setengah jam Sari dan Dea tidak memulai percakapan. Kebekuan suasana itu pun akhirnya menyair karena tangisan anak Dea yang bungsu. Sari sibuk, berusaha menenangkan si kecil. Alhasil anak Dea pun terhenti dari tangisannya.

Barulah tiga menit pertama Sari memulai pembicaraan. "Mba Dea, gimana kesibukanmu sekarang?" tanya Sari yang berusaha mencairkan suasana. "Aku minta maaf, SMS-mu waktu itu gak saya bales. Aku bingung gimana bales-nya," lanjut Sari.

"Saat itu yang ada di pikiranku, gimana caranya Sinar Abadi bisa terbit. Gak satu pun dari temen-temen tim saya beri tahu. Sekali lagi maaf ya," tutur Sari.

Dea pun senyum kecut tanpa melihat Sari. "Menurutku, terbitnya Sinar Abadi tanpa memberi tahu aku, terjawab sudah," jawab Dea. "Kayaknya emang aku dah gak layak lagi berada di organisasi ini," tambahnya. "Tapi demi Allah, aku sudah berusaha meluangkan waktu untuk bisa eksis di sini. Dan kenyataannya aku tidak bisa," keluh Dea pada Sari.

"Mungkin jalan yang terbaik, aku harus memilih mana yang prioritas buat hidupku. Tapi kalau Sari bisa mengerjakan dengan sendirian tabloid itu, ya silakah sajalah," ungkap Dea sambil menahan rasa sedihnya.

Kembali Sari tidak bisa mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Senja pun mulai menyingsing, dan pertemuan mereka pun harus berakhir tanpa ada penyelesaian yang tegas. Sekali lagi, Sari hanya bisa mengucap kata "maaf", Sari pun berlalu dari Dea.

Usai prtemuan itu, semalaman Sari tidak bisa tidur memikirkan pertemuan mereka berdua. Lagi-lagi, Sari berharap pada Arman untuk bisa menenangkan perasaannya. Kemudian Sari mengirimkan pesan lewat telepon selulernya pada Arman. Sari menyeritakan hasil pertemuannya dengan Dea. Tapi sayang, Arman tidak membalas pesan dari Sari.

Akhirnya Sari pun memutuskan untuk menceritakan permasalahan itu pada Tio, teman Sari. Kebetulan Tio juga banyak tau tentang Dea. Tio memang orang yang bijak, dari Tio lah Sari banyak belajar memetik sebuah hikmah dari sebuah persoalan. Walaupun pada dasarnya Tio punya sifat yang sedikit temperamen. Tapi di satu sisi Tio orangnya cukup baik dan menenangkan hati.

Tak terasa waktu terus berlalu dan malam pun makin larut. Perlahan tapi pasti permasalahan yang tengah Sari hadapi tenggelam menjadi sebuah mimpi yang indah. Sari terbangun lantaran mendengar azan subuh berkumandang. Sedikit banyaknya Sari mulai melupakan kejadian bersama Dea kemarin. Bergegaslah Sari pergi ke kamar mandi, mengambil air wudu dan menunaikan salat subuh.

Kriiiing..., ponsel Sari berdering, tanda ada pesan yang masuk. Sebuah pesan dari Dea. Sari pun buru-buru menuntaskan salat subuhnya. Pesan itu berbunyi pengulangan pesan Dea yang lalu. Ternyata beberapa pesan Dea yang lain tidak bisa terbuka di ponsel Sari. Yahh...maklumlah ponsel Sari sudah lawas.

Dengan percaya diri Sari membalas dengan kata-kata, "SMS-mu ini sudah aku baca, dan sampai kapanpun akan tetap kusimpan. Ini adalah sebuah pelajaran berharga buatku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku ya Mba...," begitu balasan Sari.

Tak lama kemudian, Dea pun membalas dengan pesan yang cukup mengejutkan yang berbunyi, "Aku pun belajar dari orang-orang yang tampak loyal. Ternyata tidak cuma fulan...carilah cara yang lain dik, jangan menikam dari belakang," balasan Dea kembali pada Sari.

Sontak Sari terkejut. Begitu besarkah rasa marah Dea pada Sari sehingga dipenghujung pesannya begitu mengena sasaran. Padahal sepengetahuannya, pesan-pesan seperti itu tidak mungkin keluar dari seorang Dea. Sari tahu persis siapa Dea, karakter menghunjam orang tidak mungkin muncul dari diri seorang Dea.

Sari dengan penuh rasa emosi bercampur sedih, mengirim ulang pesan itu kepada Arman. Arman-lah satu-satunya orang yang berhak membaca pesan Dea. Dengan penuh kemarahan, Sari meminta untuk bertemu sesegera mungkin pada Arman. Sari minta pertanggungjawaban Arman atas persoalan ini. Sepanjang jalan menuju kantor organisasi yang menerbitkan Tabloid Sinar Abadi, Sari menangis. Kepalanya terasa berat. Seperti ada batu besar yang menimpanya.

Dalam hati, Sari selalu berkata, "Aku bukan orang yang seperti ada dalam pikiranmu Dea. Aku adalah Sari yang selalu ingin bersamamu baik dalam senang maupun susah."

Sesampainya di kantor tersebut, Sari langsung meminjam ponsel temannya untuk membuka pesan yang tidak bisa dibaca di pesawat teleponnya. Pesan itu adalah pesan terusan yang berbunyi "Aku agak sulit memaafkan kejadian ini semua, toh maafku tidak begitu berarti bagimu. Ada dan tiadanya aku, kau tetap berprestasi. Teruslah kau berkiprah selagi kau belum berkeluarga dan beranak -inak. Biar Allah saja yang tahu," pesan yang cukup mengguncangkan hati Sari. Wajar kalau Sari memutuskan persoalan ini untuk diketahui Arman dan meminta segera diselesaikan.

Pada akhirnya, Arman pun turun tangan menyelesaikan persoalan yang tampak sepele ini. Pagi sekali Arman berkunjung ke rumah Dea, tapi sayang Dea sudah keburu pergi bekerja. Arman pun bertemu dengan suami Dea dan menyeritakan duduk persoalan ini pada suami Dea. Arman berharap persoalan ini segera berakhir dengan cara yang baik.

Memang apa yang diharapkan Arman terwujud. Keesokannya Dea mendatangi rumah Sari. Membawa buah tangan. Sari pun terheran dengan perlakuan Dea yang tampak tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kemarin, sempat terjadi ketegangan antara mereka.

Sari menyambut gembira kedatangan Dea walaupun hanya beberapa menit saja. Sari berpikir selesai sudah persoalan antara mereka dan hari-hari berikutnya Sari berharap hubungan mereka tetap seperti sediakala.

Sayang, harapan Sari tidak tercapai. Rupanya Dea masih membutuhkan waktu lama untuk bisa melupakan kejadian yang dialaminya. Akhirnya, walaupun selesai permasalahan mereka, tetap saja masih ada jarak antara mereka, kaca yang sudah pernah pecah tidak mungkin bisa disatukan kembali seperti sedia kala. Enam bulan berikutnya Dea pergi ke Pulau Jawa, menemani sang suami yang sedang bertugas di sana. Empat tahun berikutnya, Dea sudah punya momongan baru dan Sari sudah berkeluarga bersama lelaki yang diharapkannya.

Cerita di Balik Pelatihan Condev

Sudah lama tidak menulis, rasanya kaku juga tangan dan kepala ini. Hendak di mulai dari mana, mesti meraba-raba lagi. Tapi saya yakin, dari tulisan yang sederhana ini akan menginspirasikan saya untuk kembali giat menulis.

Jadi ceritanya begini. Sekitar seminggu lalu, tepatnya tanggal berapa saya juga udah lupa. Saya, Mardiati, Erna dan Hikmah mengikuti pelatihan community development (Cindev) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Mandiri jejaringnya Dompet Dhuafa. Ga’ perlu saya jelaskan lagi ya DD itu apa. Yang jelas lembaga ini merupakan lembaga zakat yang memiliki misi untuk menyalurkan zakat kepada mustahik. Cakepnya lagi lembaga ini tidak hanya menyalurkan zakat saja, tetapi juga melakukan pemberdayaan sehingga ke depan mustahik ini mandiri dan pada akhirnya, menjadi orang yang pantas mengeluarkan zakat.

Oya, pelatihan ini berlangsung selama lima hari. Pesertanya dari jejaring DD se-Jabodetabek dan dua utusan daerah lain seperti Bengkulu dan Lampung. Kami, utusan dari Lampung bukan mewakili jejaringnya DD tetapi dari LSM lain. Kalau Mardiati dan Hikmah dari GAPURA, Erna dari Lampung Herbal Community (LHC) dan saya sendiri mewakili LSM yang baru aja tiga hari sebelumnya disahkan dan mendapatkan dukungan dana dari pemerintah Kota Bandar Lampung yakni LPKP (Lembaga Pemberdayaan dan Keterampilan Perempuan) Bandarlampung.

Jadi temen-temen, setelah mengikuti pelatihan itu, kita baru ngeh deh, ternyata, pengelolaan LSM maupun organisasi yang selama ini saya dan temen-temen berkecimpung didalamnya, masih jauh dari kata ideal dan professional. Selama ini, menegemen yang kita bangun dalam organisasi kita adalah managemen logistic bukan managemen program.

Kita selalu terorientasi pada waktu bukan hasil. Segala sesuatu yang direncanakan yang terpenting terlaksana tanpa memperhatikan bagaimana rencana yang dilakukan punya nilai manfaat bagi masyarakat. Nah, yang bikin kita makin terbengong-bengong, justru yang menerapkan managemen program ini adalah LSM atau NGO yang afiliasinya ke sayap kiri. Sementara kita, yang orientasinya dawah, justru bekerja secara grubuk-grubuk. Saat di evaluasi targetannya memang tercapai, tapi hasilnya tidak maksimal. Uniknya lagi, kebiasaan saya dan teman-teman di organisasi saya, justru tidak pernah belajar dari kesalahan kemarin dan jenderung mengulang dan mengulang terus. Akhirnya, setiap ada kegiatan walhasil selalu kecebur di lubang yang sama. Yah, namanya juga masih belajar. Otodidak lagi. Ya gini deh hasilnya.

Perlu temen-temen ketahui, proposal sebuah lembaga atau kegiatan yang selama ini kita buat juga sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan bantuan. Tapi sekali lagi, semua itu terjadi karena sebagian besar pengelola lembaga dan funding juga tidak semuanya tau bagaimana sebenarnya proposal yang baik itu.

Karena saya juga baru, saya mau temen-temen juga ikut merasakan apa yang saya tau. Jadi, menurut pengalaman temen-temen DD sebuah proposal lembaga yang ideal itu, harus melalu beberapa tahapan. Diawali dari mengindentifikasi masalah untuk mengetahui secara detil gambaran dan permasalahan sebuah daerah yang akan kita bidik. Dilanjutkan dengan membuat pohon masalah dan pohon tujuan, terakhir membuat matrik perencanaan program (MPP).

Proses identifikasi masalah biar ga’ bingung maka lebih enaknya kita gunakan PRA (Participatory Rurel Aprraisal. PRA ini merupakan metodologi pendekatan partisipatif. Sedikitnya ada 12 tools PRA, diataranya; village history,trend and change, kalender muslim, sketch map, transek, sektsa kebun, diagram venn, kalender harian, low diagram, matrix ranking, pleno desa dan lainnya. Tapi tenang, tidak semua tools PRA itu digunakan. Disesuaikanlah dengan iklim kedaerahan dan bidang yang akan kita bidik.

*
Oya temen-temen. Ada cerita menarik selama ikut pelatihan. Lembaga Pendidikan Islam (LPI) tempat kami menginap, kami satu kamar dengan orang Sulawesi, tepatnya ia tinggal di Way Tangko. Namanya Nurhalimah, usianya sama dengan saya bedanya Halimah udah punya anak satu. Nurhalimah tinggal di daerah pedalaman, ajuh dari transportasi dan informasi. Kata Halimah, untuk keluar dari daerahnya membutuhkan waktu satu hari itu pun jalan kaki.

Halimah tidak lancer berbahasa Indonesia, berbicaranya selalu tersendat-sendat dan dia suka agak kesulitan mencerna kata-kata yang kami sampaikan saat mengobrol dengannya. Uniknya lagi, Halimah dan warga masyarakat di sana tidak pernah tahu siapa presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Bahkan, nama orang tua, adik beradiknya saja ia tidak tahu. Menurut kebiasaan orang sana, menanyakan nama satu hal yang dianggap tidak sopan (Tapi kalo nama presiden emang bener-bener ga’ tau dia).

Kehadiran Nur Halimah ke Bogor dalam rangka studi banding ke pabrik pengelola sawit. Keberadaannya di bawa oleh NGO Merah Putih. Sebuah lembaga pemberdayaan yang sangat peduli terhadap kemajuan tarap hidup masyarakat pedalaman.

Eh, udah dulu ya…kepanjangan ceritanya. Lain kali kita sambung dalam topic cerita yang berbeda. Terima kasih udah mau baca. Plis dikomentari.thx[]