ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Thursday, January 7, 2010

Sekolah VS Kandang Babi

Papan plang berukuran sekitar 30 x 15 cm bertanda panah serta bertuliskan SDN 3 Tanjung Karang Timur, Jagabaya I. Tanah panah itu menujukkan sekitar 200 meter dari kiri jalan Narada, Kampung Sawah, terdapat sebuah sekolahan.

Sekolah ini secara tata letak menyempil perumahan warga yang sebagian besarnya adalah warga Tionghoa. Tembok besar warga menutupi masuknya sinar matahari pagi ke sekolah tersebut. Ruang kelas lima dan enam, gelap tertutup oleh tembok warga. Bersyukur sekolah ini masih diberi ruang atau jalan setapak oleh warga setempat. Kalau tidak demikian, mungkin guru dan murid tidak akan bisa masuk ke sekolah tersebu, kerena padatnya pemukiman. Sementara kalau kita menilik ke arah utara sekolah itu, terdapat drainase besar. Disanalah warga membuang limbah industri dan rumah tangganya.

Kala kemarau datang angin menghantarkan bau tak sedap saat anak tengah belajar. Sementara, jika hujan deras, anak-anak ketakutan dengan datangnya banjir yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan sekolah mereka. Menurut keterangan warga setempat, setiap tahun banjir selalu menghampiri. Air dan lumpur yang bersumber dari drainase menenggelamkan sekolah hingga mencapai ketinggian dada manusia dewasa.

Bersyukur pada pertengahan tahun 2009, warga setempat mendapat bantuan dari pemerintah Kota Bandar Lampung untuk membangun pondasi kiri dan kanan drainase sepanjang sekitar 300 meter. Pembangunan pondasi itu dimaksudkan untuk mengurangi luapan air manakala hujan lebat mengguyur.

Berdasarkan pantauan penulis, penduduk sekitar memiliki insustri rumah tangga mengelola tahu dan tempe. Pipa dari rumah-rumah warga mengaliri limbah-limbah mereka ke kali tersebut. Sementara, untuk warga Tionghoanya sendiri rata-rata memiliki usaha ternak dan pemotongan babi.

Kepala Sekolah SDN 3 Jagabaya I, Tanjung Karang Timur, Hermilinora mengatakan sudah sering memperingatkan warga sekitarnya untuk menjaga kebersihan lingkungan demi menjaga kenyamanan proses belajar- mengajar di SDN 3 tersebut. Namun sangat disayangkan, peringatan itu tidak pernah diindahkan, justru pihak sekolah suka mendapat ejekan dari para buruh setempat. ”Terkadang buruh-buruh orang China itu malah mengikuti gaya kami mengajar saat mereka bekerja,” kata Hermilinora.

Permasalahan lingkungan yang paling tidak bisa dihindari, manakala anak tengah belajar adalah, kotoran babi selalu menyengat pada pukul 11.00 wib. ”Kalau sudah begitu terpaksa kami yang mengalah, mendatangi kandang yang terletak dibelakang kelas enam, lalu anak-anak saya perintahkan untuk menyiram kotoran tersebut,” keluhnya.

Lagi-lagi yang paling sering kebauan oleh limbah warga sekitar adalah ruang kelas enam. Kebetulan warga Thionghoa juga memiliki pabrik roti kecil-kecilan, roti yang tidak laku terjual, dibiarkan saja menumpuk dipojokan belakang sekolah. Ketika musim hujan, saat proses belajar mengajar berlangsung, siswa dan guru disuguhi lagi bau-bau yang tak sedap. Bau itu rupanya bersumber dari tumpukan roti yang tak laku terjual yang menumpuk dibelakang sekolah. Sepontan murid diminta oleh guru-gurunya kembali kerja bakti demi kenyamanan belajar.

Permasalahan ini bukanlah permasalahan setahun-dua tahun saja. Menurut keterangan warga di sana, Ibu Suhaimin, sejak ia berada dan menetap di sana, sekitar tahun 1990-an, memang daerah tersebut terkenal dengan daerah pemotongan babi. ”Saya sendiri tidak tahu persis mana yang lebih dulu ada. Apakah SDN 3 atau warga Thionghoa dengan ternak babinya,” ujar Ny. Suhaimin yang pernah menyekolahkan anaknya di sana di tahun 1994.

Kembali pada keterangan Hermilinora, pihaknya sudah kelelahan mengingatkan warga sekitar sekolah. Untuk mengurangi konflik, pihaknya mengajak kerjabakti rutin setiap Hari Jumat, untuk menyapu membersihkan lingkungan di sepanjang jalan menuju sekolah tersebut.

Menurut keterangan Hermi, keberadaannya di sana sebagai kepala sekolah baru menginjak tahun pertama. Sebelumnya, ia pernah mengajar sebagai guru kelas di SD Kampung Sawah Lama. Sungguh, satu pengalamanan yang menantang saat ia ditempatkan di SD tersebut. Untuk permasalahan lingkungan, dirinya maupun kepala sekolah terdahulu sering melaporkan masalah lingkungan sekitar sekolahnya pada lurah dan camat setempat. Laporan itu selalu ditanggapi dengan survei secara langsung dari pemerintah. Namun, dari awal berdiri sekolah ini sekitar tahun 1978 sampai sekarang, belum ada solusi konkrit dari survei-survei yang telah dilakukan.

Itulah permasalahan lingkungan yang tak kunjung pada penyelesaikan yang baik. Selain persoalan lingkungan, dirinya juga harus dihadapkan dengan anak didik yang betul-betul secara garis perekonomian orang tuanya dibawah standar. Ada pengalaman yang membuatkan menangis. Suatu ketika, saat ia berada di lorong pusat Perbelanjaan Ramayana, ia melihat beberapa anak didiknya tengah memegang kicikan, mengejar mobil angkot dan melantunkan tembang lagu orang dewasa.

”Saya langsung mengejar untuk memastikan benarkah itu anak saya,” tutur Hermi. Begitu dekat, hermi langsung memegang tangan anak didiknya, lantas membawanya ke suatu tempat, ribuan nasehat keluar dari mulut Hermi. Akhirnya Hermi mengembalikan anak didiknya pada orang tua yang bersangkutan. Ternyata, berdasarkan pengakuan orang tua anak tersebut, keinginan anak untuk turun ke jalan bukan karena untuk biaya sekolah (toh biaya sekolah gratis). Tapi lebih pada karena ikut-ikutan teman lainnya supaya mendapatkan uang saku yang lebih dari biasanya.

Memang menurut pengakuan Hermi, anak didiknya sebagian besar berasal dari orang tua yang tidak mampu. Pekerjaan orang tuanya sebagai pemulung, buruh bangunan dan tukang cuci. ”Saya selalu menekankan pada guru untuk memberi motivasi pada anak didik sebelum memulai belajar,” tuturnya. Yang menjadi titik tekan pada anak-anak bahwa orang tua boleh menjadi pemulung, namun anak didik sebagai generasi penerus harus bisa menjadi orang yang berguna kelak dewasa.

Jadi biarpun sekolahnya dekat dengan kandang babi dan orang tua tidak mampu secara ekonomi, menurut hermi anak didiknya tidak kalah dalam prestasi. Hasil Ujian Nasional tahun 2008 mencapai rata-rata kelas 7,39 dan UN tahun 2008/2009 mencapai nilai 8,38. Sementara lulusan dari SDN 3 Jagabaya I ini, ada yang menjadi dokter dan juga wakil rakyat. Keberhasilan ini tentunya satu kebanggan tersendiri bagi SDN 3 Jagabaya I.