ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Thursday, January 7, 2010

Sekolah VS Kandang Babi

Papan plang berukuran sekitar 30 x 15 cm bertanda panah serta bertuliskan SDN 3 Tanjung Karang Timur, Jagabaya I. Tanah panah itu menujukkan sekitar 200 meter dari kiri jalan Narada, Kampung Sawah, terdapat sebuah sekolahan.

Sekolah ini secara tata letak menyempil perumahan warga yang sebagian besarnya adalah warga Tionghoa. Tembok besar warga menutupi masuknya sinar matahari pagi ke sekolah tersebut. Ruang kelas lima dan enam, gelap tertutup oleh tembok warga. Bersyukur sekolah ini masih diberi ruang atau jalan setapak oleh warga setempat. Kalau tidak demikian, mungkin guru dan murid tidak akan bisa masuk ke sekolah tersebu, kerena padatnya pemukiman. Sementara kalau kita menilik ke arah utara sekolah itu, terdapat drainase besar. Disanalah warga membuang limbah industri dan rumah tangganya.

Kala kemarau datang angin menghantarkan bau tak sedap saat anak tengah belajar. Sementara, jika hujan deras, anak-anak ketakutan dengan datangnya banjir yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan sekolah mereka. Menurut keterangan warga setempat, setiap tahun banjir selalu menghampiri. Air dan lumpur yang bersumber dari drainase menenggelamkan sekolah hingga mencapai ketinggian dada manusia dewasa.

Bersyukur pada pertengahan tahun 2009, warga setempat mendapat bantuan dari pemerintah Kota Bandar Lampung untuk membangun pondasi kiri dan kanan drainase sepanjang sekitar 300 meter. Pembangunan pondasi itu dimaksudkan untuk mengurangi luapan air manakala hujan lebat mengguyur.

Berdasarkan pantauan penulis, penduduk sekitar memiliki insustri rumah tangga mengelola tahu dan tempe. Pipa dari rumah-rumah warga mengaliri limbah-limbah mereka ke kali tersebut. Sementara, untuk warga Tionghoanya sendiri rata-rata memiliki usaha ternak dan pemotongan babi.

Kepala Sekolah SDN 3 Jagabaya I, Tanjung Karang Timur, Hermilinora mengatakan sudah sering memperingatkan warga sekitarnya untuk menjaga kebersihan lingkungan demi menjaga kenyamanan proses belajar- mengajar di SDN 3 tersebut. Namun sangat disayangkan, peringatan itu tidak pernah diindahkan, justru pihak sekolah suka mendapat ejekan dari para buruh setempat. ”Terkadang buruh-buruh orang China itu malah mengikuti gaya kami mengajar saat mereka bekerja,” kata Hermilinora.

Permasalahan lingkungan yang paling tidak bisa dihindari, manakala anak tengah belajar adalah, kotoran babi selalu menyengat pada pukul 11.00 wib. ”Kalau sudah begitu terpaksa kami yang mengalah, mendatangi kandang yang terletak dibelakang kelas enam, lalu anak-anak saya perintahkan untuk menyiram kotoran tersebut,” keluhnya.

Lagi-lagi yang paling sering kebauan oleh limbah warga sekitar adalah ruang kelas enam. Kebetulan warga Thionghoa juga memiliki pabrik roti kecil-kecilan, roti yang tidak laku terjual, dibiarkan saja menumpuk dipojokan belakang sekolah. Ketika musim hujan, saat proses belajar mengajar berlangsung, siswa dan guru disuguhi lagi bau-bau yang tak sedap. Bau itu rupanya bersumber dari tumpukan roti yang tak laku terjual yang menumpuk dibelakang sekolah. Sepontan murid diminta oleh guru-gurunya kembali kerja bakti demi kenyamanan belajar.

Permasalahan ini bukanlah permasalahan setahun-dua tahun saja. Menurut keterangan warga di sana, Ibu Suhaimin, sejak ia berada dan menetap di sana, sekitar tahun 1990-an, memang daerah tersebut terkenal dengan daerah pemotongan babi. ”Saya sendiri tidak tahu persis mana yang lebih dulu ada. Apakah SDN 3 atau warga Thionghoa dengan ternak babinya,” ujar Ny. Suhaimin yang pernah menyekolahkan anaknya di sana di tahun 1994.

Kembali pada keterangan Hermilinora, pihaknya sudah kelelahan mengingatkan warga sekitar sekolah. Untuk mengurangi konflik, pihaknya mengajak kerjabakti rutin setiap Hari Jumat, untuk menyapu membersihkan lingkungan di sepanjang jalan menuju sekolah tersebut.

Menurut keterangan Hermi, keberadaannya di sana sebagai kepala sekolah baru menginjak tahun pertama. Sebelumnya, ia pernah mengajar sebagai guru kelas di SD Kampung Sawah Lama. Sungguh, satu pengalamanan yang menantang saat ia ditempatkan di SD tersebut. Untuk permasalahan lingkungan, dirinya maupun kepala sekolah terdahulu sering melaporkan masalah lingkungan sekitar sekolahnya pada lurah dan camat setempat. Laporan itu selalu ditanggapi dengan survei secara langsung dari pemerintah. Namun, dari awal berdiri sekolah ini sekitar tahun 1978 sampai sekarang, belum ada solusi konkrit dari survei-survei yang telah dilakukan.

Itulah permasalahan lingkungan yang tak kunjung pada penyelesaikan yang baik. Selain persoalan lingkungan, dirinya juga harus dihadapkan dengan anak didik yang betul-betul secara garis perekonomian orang tuanya dibawah standar. Ada pengalaman yang membuatkan menangis. Suatu ketika, saat ia berada di lorong pusat Perbelanjaan Ramayana, ia melihat beberapa anak didiknya tengah memegang kicikan, mengejar mobil angkot dan melantunkan tembang lagu orang dewasa.

”Saya langsung mengejar untuk memastikan benarkah itu anak saya,” tutur Hermi. Begitu dekat, hermi langsung memegang tangan anak didiknya, lantas membawanya ke suatu tempat, ribuan nasehat keluar dari mulut Hermi. Akhirnya Hermi mengembalikan anak didiknya pada orang tua yang bersangkutan. Ternyata, berdasarkan pengakuan orang tua anak tersebut, keinginan anak untuk turun ke jalan bukan karena untuk biaya sekolah (toh biaya sekolah gratis). Tapi lebih pada karena ikut-ikutan teman lainnya supaya mendapatkan uang saku yang lebih dari biasanya.

Memang menurut pengakuan Hermi, anak didiknya sebagian besar berasal dari orang tua yang tidak mampu. Pekerjaan orang tuanya sebagai pemulung, buruh bangunan dan tukang cuci. ”Saya selalu menekankan pada guru untuk memberi motivasi pada anak didik sebelum memulai belajar,” tuturnya. Yang menjadi titik tekan pada anak-anak bahwa orang tua boleh menjadi pemulung, namun anak didik sebagai generasi penerus harus bisa menjadi orang yang berguna kelak dewasa.

Jadi biarpun sekolahnya dekat dengan kandang babi dan orang tua tidak mampu secara ekonomi, menurut hermi anak didiknya tidak kalah dalam prestasi. Hasil Ujian Nasional tahun 2008 mencapai rata-rata kelas 7,39 dan UN tahun 2008/2009 mencapai nilai 8,38. Sementara lulusan dari SDN 3 Jagabaya I ini, ada yang menjadi dokter dan juga wakil rakyat. Keberhasilan ini tentunya satu kebanggan tersendiri bagi SDN 3 Jagabaya I.

Monday, January 4, 2010

Cerita Suka-Duka Guru Honorer

Kerudung kaus yang membalut kepala serta terjulur hingga ke dada, membuat penampilan wanita usia 30 tahun ini terlihat indah. Aura keibuan terpancar dari sosok wanita yang bernama Nur Emah. Kesehariannya bekerja sebagai guru honorer di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al-Sakinah, Enggal, Bandar Lampung.

Kecintaan Emah terhadap anak-anak tidak membuatnya surut menjadi sang pendidik. Mengenalkan nama benda, mengenalkan huruf serta angka bahkan mengenalkan bagaimana berprilaku yang baik pada anak didik, itulah yang menjadi amanahnya sebagai seorang guru anak pra sekolah.

Dituntut kesabaran serta ketekunan untuk bisa mencetak cikal bakal pemimpin negeri ini. Pemimpin yang kelak menjadi tauladan dimasanya mendatang. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, butuh totalitas yang pengajar, baik dari segi waktu dan tenaga yang dimilikinya.

Sementara disatu pihak, Emah adalah seorang istri dari Muhammad Budi yang bekerja sebagai seorang pelukis. Dalam satu minggu, belum tentu ada yang memesan lukisan karyanya. Untuk itu, demi keberlangsungan hidup yang standar, Emah mencari pekerjaan sampingan sebagai guru ngaji keliling, dari rumah satu ke rumah lainnya.

Gajinya sebagai guru honor PAUD sebesar Rp 100 ribu per bulan, tidak bisa menutupi kebutuhan pangannya sehari-hari. ”Syukurlah, ilmu mengaji yang saya punya bisa bermanfaat buat orang lain, bahkan bisa membuat dapur saya ngebul,” kata Emah sambil tertawa.

Sebelum mengajar di PAUD Sakinah, Emah pernah punya pengalaman mengajar di TK Trisula II, Rawa Laut, Bandar Lampung, sebagai tenaga honorer. Sekitar tujuh tahun dia mengabdi di sana dan memutuskan untuk tarik diri pada tahun 2006, karena melihat kondisi yang tidak kondusif lagi untuk diteruskan mengajar di sana.

Gaji satu bulan pertama yang didapatnya Rp 50 ribu. Itu sudah termasuk transport pergi-pulang dan biaya sarapan pagi. Kemudian bulan ke dua sampai 3 tahun ia mengajar, honornya mulai naik menjadi Rp 60 ribu. Tahun ke empat sampai tahun ke tujuh, Emah kembali menerima kenaikan honor dari yayasan sebesar Rp 150 ribu per bulan. Bahkan karena pengambdiannya, Emah juga ikut merasakan insentif dari pemerintah per semester Rp 600 ribu.

”Untung rumah saya tidak begitu jauh dari sekolah, sekitar 1,5 kilometer dari rumah. Jadinya kalau pulang saya sering berjalan kaki, supaya tidak boros pengeluaran,” tutur Emah.

Selama ia bekerja di sana, tidak cukup hanya sebagai tenaga pengajar saja. pemenuhan kebutuhanperlengkapan proses belajar mengajar, pembayaran rekening listrik serta telephone dan kebutuhan lainnya, juga menjadi tanggung jawab Emah seorang. Bahkan tidak jarang, Emah diperlakukan seperti pembantu rumah tangga oleh rekan seniornya yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Terkadang, ia juga harus membawa pulang pekerjaan yang belum terselesaikan di sekolah.

Lebih dari 8 jam waktunya tersita untuk sekolah yang hanya membayarnya Rp 150 ribu. Sama sekali dirinya tidak pernah komplein apalagi sampai minta kenaikan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum regional (UMR). Sementara di sisi lain, Emah juga ketika dirinya masih lajang, ia juga bagian dari tulang punggung keluarganya. Ayah dan ibunya sudah tua bahkan sakit-sakitan, sementara ia juga masih punya dua orang adik yang harus dibantu biaya pendidikannya.

Namun demikian, Emah tetap bisa mengajar, melayani dan tersenyum serta bermain dengan sepenuh hati pada anak didiknya. ”Anak-anak yang membuat saya merasa melupakan dengan tumpukan pekerjan yang melelahkan,” ujar dia.

Itulah sekelumit cerita sang guru honorer yang tidak diperlakukan selaiknya manusia. Hidupnya begitu keras. Namun karena kecintaannya pada dunia pendidikan, ia tetap bertahan di sana. Mungkin permasalah Emah hanya segelintir yang muncul dipermukaan, di belahan sana, masih ada Emah-Emah yang sama.
**
Setelah mengenal Nur Emah, sekarang kita beralih pada sosok guru honorer lainnya. Wanita ini dikatakan cukup tangguh dan gigih memperjuangkan nasib dirinya dan 6 ribu guru honorer lainnya di Kota Bandar Lampung, untuk disetarakan dengan pegawai negeri sipil.

Tidak tanggung-tanggung, perjuangan yang dilakukannya kini sudah sampai tingkat pemerintah pusat. Kesungguhan itu terpancar dari mata guru yang telah mengabdi selama 21 tahun di SDN 1 Way laga, Panjang.Yah, wanita ini bernama Sri Sumarni.

Kini usianya telah memasuki usia 46 tahun. Pengabdiannya hingga 21 tahun, belum juga membuahkan hasil yang membanggakan buat kehidupan masa tuanya alias belum juga diangkat sebagai guru tetap.

Sri bernasib sama dengan tenaga honorer lainnya di Kota Bandar Lampung. Menerima insentif Rp 600 ribu per semester, yang kabarnya insentif itu akan ditiadakan dengan alasan alokasi dana pemerintah tahun 2010 tidak mencukupi untuk membayar tenaga honorer yang ada.

Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 48 tahun 2005, tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil, pasal 6 mengatakan, pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS berdasarkan peraturan pemerintah dilakukan mulai tahun anggaran 2005 dan paling lambat tahun anggaran 2009, dengan prioritas tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai APBN dan APBD.

Kemudian dipertergas dalam pasal 2, tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai APBN dan APBD.

Atas dasar pasal tersebut Sri, yang merasa telah mengabdi lebih dari 20 tahun segera mengurus persyarakat administrasi yang dibutuhkan untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS. Namun sayang, setelah persyaratan tersebut selesai lalu diajukan, justru Sri mendapat penolakan dari instansi terkait dengan alasan kendala usia yang telah melebihi batas maksimum dan harus mendapatkan SK dari pemerintah setempat.

Sri mengatakan, PP tersebut turun sejak tahun 2005, kala itu menurutnya, seluruh tenaga honorer belum satu pun mendapatkan SK dari walikota. Faktor lain yang menunda Sri menjadi PNS adalah revisi PP 48 tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, pasal 4 ayat 1 yang berbunyi tenaga honorer yang mempunyai masa kerja lebih banyak menjadi prioritas pertama untuk diangkat menjadi PNS. Dalam hal ini yang mempunyai masa kerja sama. Tetapi jumlah tenaga honorer melebihi lowongan formasi yang trsedia. Maka prioritas pengangkatan honorer berusia lebih tinggi. Usianya menjelang 46 tahun, maka yang bersangkutan menjadi prioritas pertama. Atau dalam pengertiannya menjelang usia 46 tahun, yaitu apabila dalam tahun anggaran (2005-2009) berjalan tidak diangkat menjadi PNS, maka untuk tahun anggaran berikutnya menjadi tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS karena telah berusia lebih dari 46 tahun.

”Sampai di sana, saya merasa tahu diri. Saya berhenti mengurus segala perlengkapan menjadi PNS,” kata Sri. Saat Sri beserta rekan sekangkatanya berhenti perjuangkan nasib menjadi PNS, justru honorer usia senior di kejutkan dengan surat edaran pengangkatan kembali pekerja Pekerja Harian Lepas (PHL) di lingkungan pemerintah, tertanggal 10 Desember 2009.

Untuk itu Sri beserta tenaga honorer lainnya yang tergabung dalam Persatuan Guru Honorer Murni (PGHM), mengadukan nasibnya pada Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung. ”Sesungguhnya baik anggota dewan dan dinas terkait, sudah berupaya membantu perjuangkan nasib kami, namun mereka juga terkendala dengan PP,” tutur Sri.

Bukan permasalahan jumlah insentifnya, tapi Sri dan rekan lainnya hanya ingin diperlakukan selaiknya manusia. Pendidik yang bisa mencerdasan anak bangsa. ”Ntahlah, pada siapa lagi kami mengadu,” keluh Sri.

Biarpun persoalan pengangkatan terus berkemelut, Sri tetap memberikan pendidikan seomptimalnya. Hal yang paling menyenangkan dalam hatinya, manakala ia melihat anak didiknya menjadi orang yang berhasil. ”Artinya saya masih punya nilai manfaat bagi generasi bangsa ini, biarpun saya tidak jadi PNS,” pungkasnya.

Prakata Awal Tahun 2010: Pendidikan

Awal tahun yang baik menurutku. pasalnya di tahun ini, aku mendapatkan job yang lumayan untuk meningkatkan pendapatan. Satu diantaranya, aku masuk dalam tim pengelola majalah Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung.

Sebetulnya saya sudah lama tidak menulis lebih dari 6 ribu karakter. orang bilang sesuatu atau keahlian yang tidak dijaga alias diasah ketajamannya, Maka keahlian itu akan tumpul bahkan lebih parah lagi keahlian itu akan terlepas dari empunya. Masya Allah ngeri juga ya. Tapi bener deh, untuk memulai tulisan nan panjang namun tetap padat isi, ternyata sekarang bukan hal yang mudah lagi.

Terkadang, untuk memulai kata per katanya lumayan luar biasa sulit. Dari siang pasca hunting ke lapangan, duduk depan laptop terus buka-buka Facebook lalu membuka berita online, tidak juga membuat inspirasi ini muncul disertai mendengar musik klasik. Akhirnya, yang semestinya tulisan bisa langsung digarap, ternyata malam harinya saya harus begadang, memulai menulis.

Memadukan ide dan perasaan dalam penulisan cukup menyita waktu. Padahal, saya secara pribadi paling tidak suka kalau menulis tidak pakai hati. Kesannya kering dan tidak menarik untuk diikuti. Baiklah, saya akan memulai kembali, mengasah kembali life skill yang Allah anugerahkan pada saya. Sesungguhnya dari menulislah, saya bisa menghidupi diri sendiri.

Dan perlu temans ketahui, tulisan yang saya tampilkan ini adalah hasil reportase saya, hasil galian saya bagaimana sesungguhnya guru honorer diperlakukan, baik oleh mitra kerjanya sendiri maupun pemerintah. Dan menariknya, tulisan ini tidak jadi diterbitkan. Redaktur bilang kelewat tajam dan sulit baginya untuk mengedit atau memperhalus bahasa yang telah saya tulis.

Kalau teman saya bilang, Wong digaji pihak bersangkutan kok tulisannya menelanjangi pemerintah. Akhirnya teman bersaran, niat awal berada di suatu sistem tersebut adalah memperbaiki dinas terkait, namun tetap dengan cara yang elegant. Yakni memberi sentilan halus, tapi dalam perjalannya mereka tanpa sadar telah mengikuti apa yang seseungguhnya kita inginkan.

Baiklah... saran yang jitu. Pastinya akan saya coba untuk bisa kritis namun tau diri. he3x... Sejatinya penulis ini adalah rakyat biasa, maka segala sesuatu yang dilakukannya harus berpihak pada rakyat juga.. Tapi sepertinya, tidak mungkin kalau tulisan tersebut akan saya sampaikan dalam entrian yang sama. Saya tidak mau pembaca sudah mual duluan dengan banyaknya tulisan..

Yups..bersambung di Entrian berikutnya ya. Silakan simak baik-baik

Potret Nyata Pendidikan Masyarakat Kecil Perkotaan

Senin (4-01) awal tahun 2010. Hari ini merupakan hri pertama siswa dan siswi sekolah memulai kembali aktivitas belajar mengajar. Seperti biasanya, setiap Hari Senin, jam belajar pertama dimulai dengan upacara bendera. Kepala Sekolah Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 selaku pembina upacara berpesan dalam amanatnya untuk memulai tahun baru dengan semangat belajar yang baru. Mengejar prestasi yang belum dicapai.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 08.00 wib, siswa dan siswi SDN 1, Enggal, Bandar Lampung, bubar berlarian berebut mendekati guru yang ikut juga berbaris untuk bersalaman, setelah itu siswa masuk kelas masing-masing. Seperti biasanya juga, pada hari pertama masuk sekolah tidak langsung dimulai dengan aktivitas belajar mengajar.

Dari luar tampak terdengar suara riuh anak-anak. Ow..rupanya masing-masing anak antusias menceritakan perjalanan liburannya. Di tambah liburan kali ini bertepatan dengan pergantian tahun. ”Uh.. aku ga bisa tidur pas malam tahun baru, soalnya seru kepengen liat kembang api dan petasan,” celoteh Dandi salah satu siswa SDN 1 Enggal, Bandar Lampung.

Tak lama kemudian, seorang guru dengan mengenakan seragam hijau yang dipadu dengan jilbab hijau ( terlihat rapih dan anggun), sambil memegang buku yang didekapnya di dada, masuk ke ruang kelas. Spontan suara riuh dari murid-murid terhenti dan murid pun memosisikan tangan berlipat di atas meja. ”Assalamu’alaikum Warohmatullahi wabarokatuhu, selamat pagi ibu guru,” ucapan murid menyambut gurunya dengan dikomandoi ketua kelas.

Seperti yang sudah penulis ceritakan di atas, pada hari pertama masuk sekolah siswa tidak memulainya dengan aktifitas belajar mengajar. Guru kelas tersebut memulai pertemuannya dengan menanyakan kabar dan menuliskan jadwal pelajaran pada siswa sekolah. Begitulah, aktifitas pertama siswa masuk sekolah di SDN 1 Enggal.
**
SDN 1 Enggal, Bandar Lampung secara teritorialnya terletak di jantung Ibu Kota Bandar Lampung yakni di Tanjung Karang Pusat. Sekolah ini tidak jauh dari pusat pemerintah dan keramaian. Dari bagian selatan tidak sampai jarak tempuh satu kilometer, kantor pemerintahan Kota Bandar Lampung, dari arah timur sekitar satu kilometer lapangan merah Enggal, 500 meter dari sekolah tersebut sudah jalan besar Pangeran Diponegoro.

Namun sangat disayangkan sekolah yang berdiri sejak tahun 1982 ini, tidak berkembang secara maksimal. Bahkan menurut kepala sekolah SDN 1 Enggal, Sriyati Helmi, perkembangan sekolah tersebut cenderung menurun kalah bersaing dengan sekolah favorit disekitarnya.

Banyak hal yang membuat sekolah ini menjadi kerdil meskipun posisinya berada di jantung kota. Pertama, sekolah ini jika dibandingkan dengan sekolah lain disekitarnya, merupakan sekolah termuda. Kemudian, masyarakat dilingkungan tersebut merupakan pasangan yang tidak produktif lagi (lanjut usia). Kalaupun, ada anak usia sekolah di sana, masyarakat di sana cenderung menyekolahkan anak-anaknya disekolah favorit. Mahal dan terjamin secara kwalitasnya.

”Hanya sebagian saja yang mau menyekolahkan anaknya kemari,” tutur wanita paruh baya ini. Itupun menurut Sriyati, anak yang sekolah di SD tersebut secara ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar orangtua anak didiknya bekerja sebagai buruh kasar. Orang tua yang memiliki pemahaman rendah akan pentingnya pendidikan.

Dapat penulis informasikan, sejak bangunan sekolah ini berdiri tahun 1982, baru direnovasi untuk keduakalinya pada tahun 2003. Sementara pengadaan meja dan bangku baru mendapat bantuan satu lokal (20 meja dan 40 bangku) dari 6 lokal yang dipergunakan. Sisanya adalah bangku dan kursi yang lama, bahkan sudah tidak laik pakai lagi.

”Kami sudah mengajukan proposal untuk pengadaan bangku dan kursi pada pemerintah, namun belum mendapat respons dari pemerintah. Mungkin, masih banyak kebutuhan yang lebih prioritas ketimbang sekolah ini,” ujar ibu kerkacamata ini.

Namun demikian permasalahannya, tidak lantas menyurutkan semangat Sriyati beserta sejumlah guru yang ada untuk membantu program pengentasan wajib belajar 9 tahun. Dirinya terus berusaha dengan segenap kemampuan dana yang ada, seperti tenaga dan pemikiran untuk menghantarkan anak didiknya kejenjang kesuksesan yang gemilang.

Kembali pada kendala yang membuat sekolah ini sulit untuk berkembang pesat. Sisi lain, pihak guru kurang mendapat support dari wali murid. Seperti yang sudah tersampaikan di atas juga, bahwa orang tua murid sebagian besar berprofesi sebagai buruh kasar. ”Yang ada dalam benak orang tua anak didik kami adalah uang. Sekolah bukanlah hal yang prioritas,” akunya.

Menurutnya, pihak sekolah selalu menjemput bola supaya mereka mau menyekolahkan anak-anaknya. Berbagai stategi sudah dijalankannya untuk menarik minat anak dan orang tua supaya mau belajar. Sebagai contoh, setiap tahun ajaran baru, Sriyati dan sejumlah guru yang ada selalu bergerilya ke rumah-rumah warga tidak mampu. ”Kami menyiapkan baju seragam sekolah, sepatu, buku dan peralatan kebutuhan anak-anak sekolah untuk mengajak mereka,” ceritanya.

Namun ditengah perjalanan, terkadang semangat anak menurun, bahkan ada saja yang memundurkan diri dan tidak melanjutkan sekolah dengan berbagai alasan. Padahal, satu sen pun anak didik tidak pernah dipungut biaya. Atas kurangnya motifasi anak dan kurangnya kesadaran orang tua akan pendidikan ini, membuat pihak SDN 1 Enggal, terkadang merasa kewalahan.

”Kalau sedang ada pertemuan dengan guru lain, saya suka minta pendapat mereka untuk mengembangkan sekolah ini. Tapi tetap saja hasilnya selalu mentah,” tuturnya sambil tertawa.

Demikian halnya kalau sudah memasuki waktu Ujian Nasional. Menurutnya, pihaknya juga bergerilya lagi ke rumah anak yang tidak mau mengikuti ujian. Kembali merayu anak dan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. ”Jadi tugas kami double. Satu sisi kami dibebankan dengan targetan kelulusan anak. Sisi lain, kami juga harus merayu mereka untuk kembali sekolah,” tutur Sriyati.

Kembali pada sejarah perkembangan pendidikan di sekolah SDN 1 Enggal. Sejak berdiri hingga tahun 2010, sudah 4 kepala sekolah yang mengelola sekolah tersebut. Tahun pertama masih merintis. Pergantian kepala sekolah ke dua, sekolah ini mengalami perkembangan yang baik. Kemudian kepala sekolah ke tiga dan sekarang terus saja mengalami penurunan.

Dapat diinformasikan juga, meskipun keterbatasan dana karena mengandalkan bantuan sepenuhnya dari pemerintah, sekolah ini sebenarnya tidak kalah bersaing. Prestasi sekolah ini selalu tidak pernah lebih dari 10 besar se Tanjungkarang Pusat. Pernah juga meraih juara tingkat nasional bidang olahraga. Tidak kalah pentingnya, sekolah ini juga menyiapkan fasilitas komputer yang satu ruangan dengan ruang guru dan kepala sekolah. Namun disayangkan, sekolah ini tidak ada perpustakaan yang memadai. Selain tidak ada lokal untuk dijadikan perpustakaan, faktor lainnya adalah rendahnya motivasi anak untuk belajar serta keterbatasan dana.