ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Tuesday, June 9, 2009

Dewan Pensiun: Pantaskah di Beri Penghargaan Emas 10 Gram?

Hei..hei...hei... aku datang lagi, guna melanjutkan menumpahkan pikiran yang terputus sejenak. Oya, teman, kemarin malam aku sempat dengar dialog di Metro TV soal penghargaan Anggota legislatif yang pensiun berupa cincin emas 23 karat, seberat 10 gram. Idih... kenapa sih, wakil rakyat itu suka memunculkan ide yang aneh-aneh aja ditengah kemiskinan dan krisis global yang melanda dunia, wabil khusus Indonesia.

Bayanglah, cincin emas sekarang 1 gram harganya berapa, terus kalikan dengan sekitar 500-an anggota dewan. Terus totalkan berapa jumlah uang rakyat yang harus di buang secara mubazir(duh, males ah menghitungnya, bikin kepalaku tambah sakit aja membayangkan jumlahnya), hanya untuk kasih mereka penghargaan, bahwa para anggota dewan itu, telah menyampaikan aspirasi dan perjuangkan rakyat secara sempurna.

Padahal, coba kita cek, berapa gaji pokok dan tunjangan yang mereka dapatkan dalam satu bulan? Sepadankah gaji dengan keringat dan pikiran yang sudah mereka keluarkan? Weleh..weleh.. dulu minta fasilitas laptop sekarang minta diberi penghargaan berupa cincin. Ntar tahun depan, apa lagi ide kampungan yang akan mereka munculkan?

Masa sih, tidak kepikiran di otak mereka, masih ada anak yang putus sekolah karena rakyat miskin tidak bisa membiayai anak sekolah dengan baik? Padahal, jika saja pemerintah mau menganggarkan 20 persen penuh pendidikan di Indonesia, maka yakinlah, bangsa ini pasti punya generasi yang terdidik, berwawasan luas. Dengan demikian, maka tidak ada istilah lagi di Indonesia ini, anak bangsa yang menjadi babu di rumahnya sendiri. Generasi kita akan punya wibawa dimata internasional. Dan tidak perlu, minta pendapat negara lain dalam menentukan kemajuan bangsanya.

Itu sih, budaya konsumtif pemerintah kita sudah terlalu mendarah daging. Bahkan, tahan sampai pinjam ke sana-ke mari, untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya tidak terlalu penting dan terlalu diada-adakan. Dan budaya ini juga, rupanya, sudah melekat di seluruh lapisan masyarakat.

Sekarang coba kita buktikan, bahwa negara kita ini sebagian besarnya rakyatnya adalah penganut sistem perekonomian konsumtif. Disadari atau tidak, sederhana saja contohnya, rumah orang yang hidupnya dibawah garis kemiskinan, sederhananya lagi orang tidak berada, mereka bisa tahan membeli televisi atau elektronik lainnya yang sifatnya kebutuhan primer. Tapi mereka akan susah mengeluarkan biaya untuk pendidikan. Kalau toh benar-benar tidak punya uang, mereka bisa tahan membeli dengan sistem cicilan yang bunganya bejibun besarnya. Makanya, di negara kita ini, menjamur, perusahaan yang menawarkan jasa leasing.

Kenapa sih, ga belajar jadi manusia prihatin dan menerima kenyataan? Coba kita lihat negara maju atau orang yang punya pemikiran maju, mereka jauh lebih senang punya kehidupan yang sederhana dan sehat. Jepang aja deh yang dijadikan contoh. Negara yang sebegitu majunya, rakyatnya, kalau mau pergi kemana-mana, pakai sepeda. Ga’ pake malu-malu mereka mengayunkan pedal sepeda dengan kakinya itu. Hidup mereka teratur dan punya daya saing.

Jujurku katakan, sesungguhnya aku tidak bangga menjadi anak bangsa ini. Aku merasa harga diriku sebagai rakyat dilecehkan dengan kebiasaan pengelola bangsa ini dan masyarakatnya yang menganut budaya konsumtif dan ikut-ikutan. Aku lebih bangga jadi anak bangsa yang hidupnya serba terbatas, tapi punya izzah dan punya taring yang garang. Sehingga orang lain tidak akan menginjak-injak harga diriku.

Harga diri ini mahal, melebihi setumpuk harga dan kekuasaan. Dan harga diri itu, Cuma diberikah oleh Allah pada hambaNya yang tidak menundukkan dirinya pada sebuah materi belaka. Ya Allah, aku berlindung dari pada kecintaan dunia dan takut mati. Hingga akhir hayatku dan berlindung dari pemerintahan yang zalim dan tiran.***