ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Thursday, December 18, 2008

Kemacetan Membawa Berkah

Hari Kamis (18-12), Bandarlampung hujan deras selama 2 jam. Saking derasnya, beberapa jalan protokol di daerahku tergenang banjir yang merandam rumah sekitar hingga menutupu badan rumah. Akibat banjir itu, jalan utama Jl. Teuku Umar macet total.

Pada hari itu, dipastikan semua jalan tidak ada yang lengang, semuanya padat kendaraan. Hari itu juga bertepatan dengan agenda rutin mingguan. Saat mau pulang terlihat jalanan udah padet dan sulit dilalui kendaraan. asap kendaraan begitu pekat, belum lagi sahut-sahutan klakson kendaraan motor dan mobil. Semua pengguna jalan tidak ada yang mau mengalah. Semuanya berebut mau duluan sampai ke tujuan mereka masing-masing, termasuk juga saya.

Asap pekat kendaraan menghembus-hembuskan ke wajahku. Tak tahan rasanya menghirup polusi udara dan mendengar bising klakson. Tapi itulah nasib, keberadaan aku ditengah kemacetan tak terhindarkan. Jalan mau menuju kerumah yang semetinya bisa ditempuh dengan waktu 15 menit, eh.. ini harus bersambar sampai 1 jam. Udah itu, sampainya ga' ke rumah lagi. melainkan ke rumah keponakanku Ahda Sabila. (Emang di suruh silaturahim kali ya).

Asli deh, hari itu sangat membosankan. Tahukah kalian, mestinya hari itu saya harus menyelesaikan laporan keuangan LSM ku ke Pemda. Laporan harus terkumpul tanggal 20 Desember. Karena insiden itu, beberapa pekerjaan harus di panding dulu. Kalau mau turutin nafsu, emang sebelnya ga' ketulungan. Tapi yah... sekali lagi, inilah Eni, orangnya selalu berusaha menikmati apa yang terjadi pada diri ini. Biar hujan mengguyur badan yang belum sembuh amat plus kena polusi udara, semua di bawa enak aja bo! Kan Allah yang punya badan ini. Bukan begitu saudara?

**

Pagi pukul 07.30, lagu Bangkitlah Negeriku Harapan itu Masih Ada, mendendang dari ponselku, tertanda ada panggilan masuk. Hardi menelpon. Dia minta jam segitu juga aku harus mengantarkan motor yang ku pinjam darinya, katanya mau anter nasi ke posko banjir. "Mmmm...gimana ya di, aq belum mandi. Tapi tetap aku usahakan sampe ke sana secepatnya," jawabku yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidur yang ku teruskan badah subuh.

Mengingat, motor ini harus kulu-likir ke beberapa lokasi, akhirnya tanpa basuh muka apalagi mandi, aku ngloyor aja menuju tempat kerjaku. Alhamdulillah, jalan ga' begitu macet, jadi bisa sampai lokasi 10 menit dari tempat keponakanku.

Sesampainya dikantor, aku langsung meneruskan pekerjaan yang belum terselesaikan. Aroma tidak sedam perlahan-lahan mulai tercium dari badanku sendiri. "Bau apa ini ni, lo belum mandi ya," kata Sabiq, orang pertama yang aku temui di kantor. Cuek aja lagi, kambing ga' mandi aja laku, masa' seorang eni ga' laku lantaran ga' mandi.he3x...

Oya, sebetulnya dari cerita panjang lebar, ngalor-ngidul ini, aku pengen kasi tau sama temen-temen. Ternyata kesabaran dan berusaha untuk berkomitmen nepatin janji itu ada buahnya. Tahukah kalian, sampai saya menuliskan kisah sederhana ini, temanku yang bernama Mardiati, Aku panggil dia "Jo" (maknanya cukup orang-orang saya aja yang tahu), saat ini tengah membantu menyelesaikan laporan yang mestinya terkumpul besok. Dia serius banget ngerjainnya, sampe-sampe lupa makan (ga' ada duit kali.he3x..).Tapi agaknya ga' mungkin besok dikumpul, tau sendirilah kantor pemerintahan mah, mana ada yang kerjanya lebih dari 8 jam apalagi lebih dari 5 hari.

Jadi teman, hikmah yang mau saya angkat sekarang adalah, apapun yang terjadi pada diri kita tetaplah bersabar dan jangan berpancing emosi sesaat. Dari kejadian macet itu, aku jadi suka pandai mengamati prilaku orang. Jadi, orang itu akan terlihat sifat aslinya kalau sedang dalam kondisi panik dan menegangkan.[*]

Monday, December 15, 2008

Eni! Apa Kontribusi mu untuk Perempuan?

Kemarin Senin (14-12), saya bersama teman ikut partisipasi aktif menyelenggarakan pelayanan kesehatan gratis. Kegiatan ini terlaksana kerjabareng Pos Kesehatan Peduli Umat (PKPU) dan Indosat.

Kegiatan ini terlaksana sudah yang kesekian kalianya. Titik sasarannya adalah daerah yang jauh dari pusat pelayanan atau daerah yang bisa terbilang miskin. Bentuk aksi sosialnya, dari pemeriksaan kesehatan, memberikan makanan tambahan baik pada balita maupun ibu hamil dan menyusui serta pelayanan USG gratis.

Dari satu tempat ke tempat lainnya, kami selalu mengalami pembludakan pasien. Targetan awal kami selalu meleset. Saking membludaknya, saya yang semestinya punya job sebagai kuli tinta atau fotografer suka beralih jadi apoteker bahkan asisten dokter. Nensi darah, kasi nasehat pasien sampai meracik obat-obatan. “Wih.. lama-lama ibu wartawan satu ini bisa ahli di dunia apoteker,” kata salah satu teman yang memandu perjalanan kami.

Tapi bukan itu inti yang akan saya ceritakan pada temen-temen.

Perlu diketahui, sebagian besar pasien yang ditangani oleh tim medis adalah kaum hawa. Hamper bisa saya perkirakan mereka berpendidikan rendah, tidak punya banyak pengalaman dan miskin. Secara kasap mata, menurut saya, ibu-ibu itu masih bisa diarahkan dan di bentuk jadi manusia yang berdaya secara skill dan kecerdasan.

Saya punya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) namanya Lembaga Pemberdayaan Keterampilan Perempuan (LPKP) sekupnya tingkat Kota Bandar Lampung saja. Visinya pengen semua perempuan khususnya Bandar Lampung cerdas dan berakhlak. Misinya, perempuan punya keterampilan sehingga bisa mandiri, kalau sudah mandiri pasti punya waktu untuk mencerdaskan diri secara fikriyah dan ruhiyah. Kalau sudah cerdas secara fikriyah dan ruhiyah, maka rumah tangga akan tentram dan mampu melahirkan dan mendidik generasi penerus jadi anak yang solih dan solihah.

Kalau sudah begini, cita-cita mau punya Negara yang madani jadi segera terwujud. Inget! LSM ini didirikan bukan dengan niatan menjadikan kaum adam sebagai saingan. Tapi menjadikan pria sebagai mitra untuk mewujudkan cita-cita bersama. Saya sangat anti dengan gerakan feminisme. Ga’sesuai dengan Alquran dan Assunah. Dari jaman bahela Allah ga’ pernah beda-bedain hambaNya.

Tahukah wahai teman-teman? Bandar Lampung itu bukan desa melainkan perkotaan yang notabene orang-orangnya dan segala sesuatunya jauh lebih maju dari desa. Ga’ usah jauh-jauh deh. Ditempat tinggal ku yang terletak di jantung kota saja, kaum ibu atau perempuan, masih jauh dari berpikir maju. Mengapa? Karena masih banyak perempuan modern yang enggan membagikan ilmunya pada sesame kaumnya.

Ditempat tinggal ku, masih banyak anak gadis yang tidak menyelesaikan sekolah karena orang tuanya tidak punya biaya. Ditempat tinggal ku, masih banyak ibu yang tidak mengenal angka dan huruf. Ditempat tinggal ku masih ada ibu yang tidak tahu nilai mata uang. Masya Allah!!! Ini real world….gitu salah satu temen diskusi ku bilang. Katanya, hidup itu tak selamanya bagus dan mulus. Mesti buka mata buka telinga bo!

Kemana aku selama ini? Objek dawah depan mata! Aku selalu disibukkan dengan urusan besar tapi melupakan urusan kecil. Mungkin ini jawabannya, kenapa masih banyak di sudut kota ini perempuan yang belum berdaya. Karena masih banyak orang yang sama seperti aku. Orang yang mementingkan diri sendiri dan mau menang sendiri. Orang yang ingin terlihat ‘Wah’ dan seterusnya. (Wah,ga bener aktivis dawah begini)

Ya Allah.. aku tidak main-main untuk mewujudkan impian ini. Ya Allah… yang maha membolak balikkan hati manusia. Hari ini aku sangat bersemangat menjadi agen perubahan itu Ya Allah… teguhkan hati ini untuk mewujudkan itu semua. Tuntun hamba Mu ini. Jangan Kau biarkan waktu-waktu ku habis hanya untuk mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Aku serahkan hidup dan mati ini hanya pada Mu. Amin…

Saturday, December 13, 2008

Cerpen: Serpih Persahabatan

PUKUL 06.00, telepon seluler Sari berdering sekali, menandakan pesan singkat masuk ke ponsel-nya. Sari memang punya kebiasaan yang tidak bagus, sehabis salat subuh Sari sering melanjutkan mimpi yang sempat terputus. Tidak jarang ibunya selalu menasihatinya supaya jangan meneruskan kebiasaan buruknya.

"Bangun Nak, katanya kau mau pergi pagi ini," kata ibu Sari, sambil membuka jendela kamar Sari. "Kebiasaan mu ini jangan diteruskan, gimana kalau kamu nanti berumah-rumahan alias berumah tangga kelak. Kasihan suami mu Nak," ujar Ibu Sari. "Tuh, ponsel kamu bunyi," kata ibu Sari, sambil menunjuk ponsel putri bungsunya.

"Makasih ya Bu udah bangunin aku. Tapi Bu, ini kan baru pukul 06.00," jawab Sari sambil meraba-raba mencari ponsel-nya yang baru saja berdering. "Maaf Bu, semalam aku tidur agak malam, jadinya ngantuk berat," sahut Sari, sambil membuka pesan singkat yang mengusik tidur paginya.

Ternyata pesan singkat itu asalnya dari Dea, sahabat Sari. Dea berusia jauh lebih di atas dari Sari dan Dea sudah berkeluarga. Sekarang Dea memiliki tiga anak yang lucu-lucu, Sari pun sangat menyenangi ketiga anaknya itu. Walaupun usia Dea terpaut jauh dengan Sari, Dea bisa mengimbangi pertemanan mereka. Makanya, persahabatan mereka lumayan langgeng.

"Ups, SMS dari Mba Dea," kata Sari sambil menunggu pesan yang ingin disampaikan Dea terbuka. Maklumlah ponsel Sari bukan barang mahal, jadi menunggu pesan terbuka semua membutuhkan waktu beberapa detik.

Betapa terkejutnya Sari membaca pesan yang berisikan ungkapan kekecewaan Dea pada Sari. "Ri, apa perlu aku hadir pada rapat tanggal 17 September itu? Sepertinya Kau sudah bisa jalan tanpa aku. Maaf ya Sar, semaleman aku gak bisa tidur mikirin tabloid. Aku malu namaku masih nampang di situ, sedangkan tak satu pun tulisan maupun konsepku muncul di sana. Kalau kau memang bisa kerjakan sendiri silakan saja," begitu pesan yang disampaikan Dea pada Sari.

Dea dan Sari memang terlibat sebuah organisasi besar. Mereka berdua satu tim. Bidang yang mereka geluti adalah informasi publik. Salah satu produknya Sinar Abadi. Selama ini Dea bertanggung jawab atas penerbitan karena kesibukannya sebagai seorang pekerja di salah satu instansi swasta dan sebagai seorang ibu yang harus mengasuh ketiga anaknya, akhirnya terbitnya Sinar Abadi sering tertunda. Sementara itu, Sari adalah seorang mahasiswi semester akhir di perguruan swasta tempatnya tinggal. Waktu luang yang dimiliki Sari relatif banyak, karena tidak ada lagi jadwal perkuliahan yang harus di tempuh Sari. Makanya, Sari sering muncul dan mengaktualisasikan kegemarannya sebagai penulis di organisasi itu.

Sari terdiam usai membaca pesan dari Dea. Tanpa sadar, Sari telah mengabaikan ibunya yang terus saja berbicara padanya.

"Sar, kamu denger ibu kan?" tanya ibunya.

"Maaf bu. Ibu tadi bilang apa?" Sari balik bertanya pada ibunya, yang baru tersentak dari lamunannya.

"Kamu ini masih pagi udah ngelamun. SMS dari siapa? Ibu tadi bilang buruan cuci piring, tapi ibu sudah nyapu halaman depan," lanjut wanita paro baya itu pada putri bungsunya.

"Tenang Bu, itu udah jadi kewajiban Sari. Pasti aku kerjain. Sari gak bakal pergi sebelum pekerjaan rumah selesai," celoteh Sari pada ibunya, sambil menutup pesan dari Dea. Sari tidak sempat membalas SMS Dea, keburu ibunya bicara panjang lebar. Langsung saja Sari beranjak dari tempat tidurnya, bergegas mengerjakan tugas rutinnya.

***

Seminggu sudah Sari tidak menjalin komunikasi pada Dea lewat SMS. Sari masih bingung harus menjawab bagaimana pesan Dea. Sampai akhirnya mereka harus bertemu. Gadis berkulit hitam manis itu mencoba meraba-raba perkataan dan sikap apa yang membuat Dea jadi marah. Tiba-tiba muncul dalam benak Sari Tabloid Sinar Abadi.

"Ups. Kenapa sewaktu ini terbit, aku gak pernah konfirmasi dengan Mba Dea ya," jujur Sari pada dirinya sendiri. Bahkan, yang membuat Dea lebih kesal, tabloid itu sampai ada di tangannya, tak sepatah kata pun Sari memberi tahu, baik lewat SMS maupun yang lainnya. Padahal, sebelumnya Dea sudah mengirim pesan pancingan. Harapan Dea, Sari akan memberi tahu terbitnya dari mulut Sari.

"Oh Sari! Betapa bodohnya kau ini, kenapa pula gak bilang-bilang kalo Sinar Abadi sudah terbit," keluh Sari pada dirinya sendiri.

Sari bingung bagaimana menjelaskan keteledorannya itu pada Dea. Tak lama kemudian, Sari teringat Arman, atasan Sari dan Dea. Sari berpikir Arman adalah orang yang tepat menyelesaikan masalah uang sedang dihadapinya. SMS yang Dea kirimkan sepekan lalu pun langsung di-forward ke Arman. Arman pun membalas SMS Sari.

"Sar, masalah ini miskomunikasi aja. Kesalahan sepenuhnya tidak cuma di Sari aja, Saya yang tanggung jawab. Nanti saya menghubungi Dea, tetep semangat ya...!" pesan balasan Arman pada Sari.

Kini Sari mulai tenang. Berharap pada Arman masalah ini selesai dengan baik-baik. Tiga hari berikutnya, Sari bertemu Arman di salah satu tempat tanpa sengaja. Sari pun menanyakan kembali perkembangan masalahnya.

"Gimana urusan kita, selesai?" tanya Sari pada Arman, mengawali perjumpaan mereka.

"Oh.. saya belum menghubunginya. Nantilah cari waktu yang tepat. Sekarang saya masih banyak urusan. Sabar ya," jawab Arman dengan meyakinkan Sari.

"Pokoknya saya gak mau masalah ini kelamaan. Saya udah kangen sama anak-anaknya. Saya berharap ending bagus!" pinta Sari.

"Ya dah...tenang Bos," timpal Arman.

Belum sempat Arman menghubungi Dea untuk membicarakan permasalah itu, keesokan harinya Sari dan Dea bertemu di sebuah pesta pernikahan rekan mereka. Sari merasa kikuk. Pertemuan ini tidak seperti biasanya. Ada sekitar setengah jam Sari dan Dea tidak memulai percakapan. Kebekuan suasana itu pun akhirnya menyair karena tangisan anak Dea yang bungsu. Sari sibuk, berusaha menenangkan si kecil. Alhasil anak Dea pun terhenti dari tangisannya.

Barulah tiga menit pertama Sari memulai pembicaraan. "Mba Dea, gimana kesibukanmu sekarang?" tanya Sari yang berusaha mencairkan suasana. "Aku minta maaf, SMS-mu waktu itu gak saya bales. Aku bingung gimana bales-nya," lanjut Sari.

"Saat itu yang ada di pikiranku, gimana caranya Sinar Abadi bisa terbit. Gak satu pun dari temen-temen tim saya beri tahu. Sekali lagi maaf ya," tutur Sari.

Dea pun senyum kecut tanpa melihat Sari. "Menurutku, terbitnya Sinar Abadi tanpa memberi tahu aku, terjawab sudah," jawab Dea. "Kayaknya emang aku dah gak layak lagi berada di organisasi ini," tambahnya. "Tapi demi Allah, aku sudah berusaha meluangkan waktu untuk bisa eksis di sini. Dan kenyataannya aku tidak bisa," keluh Dea pada Sari.

"Mungkin jalan yang terbaik, aku harus memilih mana yang prioritas buat hidupku. Tapi kalau Sari bisa mengerjakan dengan sendirian tabloid itu, ya silakah sajalah," ungkap Dea sambil menahan rasa sedihnya.

Kembali Sari tidak bisa mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Senja pun mulai menyingsing, dan pertemuan mereka pun harus berakhir tanpa ada penyelesaian yang tegas. Sekali lagi, Sari hanya bisa mengucap kata "maaf", Sari pun berlalu dari Dea.

Usai prtemuan itu, semalaman Sari tidak bisa tidur memikirkan pertemuan mereka berdua. Lagi-lagi, Sari berharap pada Arman untuk bisa menenangkan perasaannya. Kemudian Sari mengirimkan pesan lewat telepon selulernya pada Arman. Sari menyeritakan hasil pertemuannya dengan Dea. Tapi sayang, Arman tidak membalas pesan dari Sari.

Akhirnya Sari pun memutuskan untuk menceritakan permasalahan itu pada Tio, teman Sari. Kebetulan Tio juga banyak tau tentang Dea. Tio memang orang yang bijak, dari Tio lah Sari banyak belajar memetik sebuah hikmah dari sebuah persoalan. Walaupun pada dasarnya Tio punya sifat yang sedikit temperamen. Tapi di satu sisi Tio orangnya cukup baik dan menenangkan hati.

Tak terasa waktu terus berlalu dan malam pun makin larut. Perlahan tapi pasti permasalahan yang tengah Sari hadapi tenggelam menjadi sebuah mimpi yang indah. Sari terbangun lantaran mendengar azan subuh berkumandang. Sedikit banyaknya Sari mulai melupakan kejadian bersama Dea kemarin. Bergegaslah Sari pergi ke kamar mandi, mengambil air wudu dan menunaikan salat subuh.

Kriiiing..., ponsel Sari berdering, tanda ada pesan yang masuk. Sebuah pesan dari Dea. Sari pun buru-buru menuntaskan salat subuhnya. Pesan itu berbunyi pengulangan pesan Dea yang lalu. Ternyata beberapa pesan Dea yang lain tidak bisa terbuka di ponsel Sari. Yahh...maklumlah ponsel Sari sudah lawas.

Dengan percaya diri Sari membalas dengan kata-kata, "SMS-mu ini sudah aku baca, dan sampai kapanpun akan tetap kusimpan. Ini adalah sebuah pelajaran berharga buatku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku ya Mba...," begitu balasan Sari.

Tak lama kemudian, Dea pun membalas dengan pesan yang cukup mengejutkan yang berbunyi, "Aku pun belajar dari orang-orang yang tampak loyal. Ternyata tidak cuma fulan...carilah cara yang lain dik, jangan menikam dari belakang," balasan Dea kembali pada Sari.

Sontak Sari terkejut. Begitu besarkah rasa marah Dea pada Sari sehingga dipenghujung pesannya begitu mengena sasaran. Padahal sepengetahuannya, pesan-pesan seperti itu tidak mungkin keluar dari seorang Dea. Sari tahu persis siapa Dea, karakter menghunjam orang tidak mungkin muncul dari diri seorang Dea.

Sari dengan penuh rasa emosi bercampur sedih, mengirim ulang pesan itu kepada Arman. Arman-lah satu-satunya orang yang berhak membaca pesan Dea. Dengan penuh kemarahan, Sari meminta untuk bertemu sesegera mungkin pada Arman. Sari minta pertanggungjawaban Arman atas persoalan ini. Sepanjang jalan menuju kantor organisasi yang menerbitkan Tabloid Sinar Abadi, Sari menangis. Kepalanya terasa berat. Seperti ada batu besar yang menimpanya.

Dalam hati, Sari selalu berkata, "Aku bukan orang yang seperti ada dalam pikiranmu Dea. Aku adalah Sari yang selalu ingin bersamamu baik dalam senang maupun susah."

Sesampainya di kantor tersebut, Sari langsung meminjam ponsel temannya untuk membuka pesan yang tidak bisa dibaca di pesawat teleponnya. Pesan itu adalah pesan terusan yang berbunyi "Aku agak sulit memaafkan kejadian ini semua, toh maafku tidak begitu berarti bagimu. Ada dan tiadanya aku, kau tetap berprestasi. Teruslah kau berkiprah selagi kau belum berkeluarga dan beranak -inak. Biar Allah saja yang tahu," pesan yang cukup mengguncangkan hati Sari. Wajar kalau Sari memutuskan persoalan ini untuk diketahui Arman dan meminta segera diselesaikan.

Pada akhirnya, Arman pun turun tangan menyelesaikan persoalan yang tampak sepele ini. Pagi sekali Arman berkunjung ke rumah Dea, tapi sayang Dea sudah keburu pergi bekerja. Arman pun bertemu dengan suami Dea dan menyeritakan duduk persoalan ini pada suami Dea. Arman berharap persoalan ini segera berakhir dengan cara yang baik.

Memang apa yang diharapkan Arman terwujud. Keesokannya Dea mendatangi rumah Sari. Membawa buah tangan. Sari pun terheran dengan perlakuan Dea yang tampak tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal kemarin, sempat terjadi ketegangan antara mereka.

Sari menyambut gembira kedatangan Dea walaupun hanya beberapa menit saja. Sari berpikir selesai sudah persoalan antara mereka dan hari-hari berikutnya Sari berharap hubungan mereka tetap seperti sediakala.

Sayang, harapan Sari tidak tercapai. Rupanya Dea masih membutuhkan waktu lama untuk bisa melupakan kejadian yang dialaminya. Akhirnya, walaupun selesai permasalahan mereka, tetap saja masih ada jarak antara mereka, kaca yang sudah pernah pecah tidak mungkin bisa disatukan kembali seperti sedia kala. Enam bulan berikutnya Dea pergi ke Pulau Jawa, menemani sang suami yang sedang bertugas di sana. Empat tahun berikutnya, Dea sudah punya momongan baru dan Sari sudah berkeluarga bersama lelaki yang diharapkannya.

Cerita di Balik Pelatihan Condev

Sudah lama tidak menulis, rasanya kaku juga tangan dan kepala ini. Hendak di mulai dari mana, mesti meraba-raba lagi. Tapi saya yakin, dari tulisan yang sederhana ini akan menginspirasikan saya untuk kembali giat menulis.

Jadi ceritanya begini. Sekitar seminggu lalu, tepatnya tanggal berapa saya juga udah lupa. Saya, Mardiati, Erna dan Hikmah mengikuti pelatihan community development (Cindev) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Mandiri jejaringnya Dompet Dhuafa. Ga’ perlu saya jelaskan lagi ya DD itu apa. Yang jelas lembaga ini merupakan lembaga zakat yang memiliki misi untuk menyalurkan zakat kepada mustahik. Cakepnya lagi lembaga ini tidak hanya menyalurkan zakat saja, tetapi juga melakukan pemberdayaan sehingga ke depan mustahik ini mandiri dan pada akhirnya, menjadi orang yang pantas mengeluarkan zakat.

Oya, pelatihan ini berlangsung selama lima hari. Pesertanya dari jejaring DD se-Jabodetabek dan dua utusan daerah lain seperti Bengkulu dan Lampung. Kami, utusan dari Lampung bukan mewakili jejaringnya DD tetapi dari LSM lain. Kalau Mardiati dan Hikmah dari GAPURA, Erna dari Lampung Herbal Community (LHC) dan saya sendiri mewakili LSM yang baru aja tiga hari sebelumnya disahkan dan mendapatkan dukungan dana dari pemerintah Kota Bandar Lampung yakni LPKP (Lembaga Pemberdayaan dan Keterampilan Perempuan) Bandarlampung.

Jadi temen-temen, setelah mengikuti pelatihan itu, kita baru ngeh deh, ternyata, pengelolaan LSM maupun organisasi yang selama ini saya dan temen-temen berkecimpung didalamnya, masih jauh dari kata ideal dan professional. Selama ini, menegemen yang kita bangun dalam organisasi kita adalah managemen logistic bukan managemen program.

Kita selalu terorientasi pada waktu bukan hasil. Segala sesuatu yang direncanakan yang terpenting terlaksana tanpa memperhatikan bagaimana rencana yang dilakukan punya nilai manfaat bagi masyarakat. Nah, yang bikin kita makin terbengong-bengong, justru yang menerapkan managemen program ini adalah LSM atau NGO yang afiliasinya ke sayap kiri. Sementara kita, yang orientasinya dawah, justru bekerja secara grubuk-grubuk. Saat di evaluasi targetannya memang tercapai, tapi hasilnya tidak maksimal. Uniknya lagi, kebiasaan saya dan teman-teman di organisasi saya, justru tidak pernah belajar dari kesalahan kemarin dan jenderung mengulang dan mengulang terus. Akhirnya, setiap ada kegiatan walhasil selalu kecebur di lubang yang sama. Yah, namanya juga masih belajar. Otodidak lagi. Ya gini deh hasilnya.

Perlu temen-temen ketahui, proposal sebuah lembaga atau kegiatan yang selama ini kita buat juga sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan bantuan. Tapi sekali lagi, semua itu terjadi karena sebagian besar pengelola lembaga dan funding juga tidak semuanya tau bagaimana sebenarnya proposal yang baik itu.

Karena saya juga baru, saya mau temen-temen juga ikut merasakan apa yang saya tau. Jadi, menurut pengalaman temen-temen DD sebuah proposal lembaga yang ideal itu, harus melalu beberapa tahapan. Diawali dari mengindentifikasi masalah untuk mengetahui secara detil gambaran dan permasalahan sebuah daerah yang akan kita bidik. Dilanjutkan dengan membuat pohon masalah dan pohon tujuan, terakhir membuat matrik perencanaan program (MPP).

Proses identifikasi masalah biar ga’ bingung maka lebih enaknya kita gunakan PRA (Participatory Rurel Aprraisal. PRA ini merupakan metodologi pendekatan partisipatif. Sedikitnya ada 12 tools PRA, diataranya; village history,trend and change, kalender muslim, sketch map, transek, sektsa kebun, diagram venn, kalender harian, low diagram, matrix ranking, pleno desa dan lainnya. Tapi tenang, tidak semua tools PRA itu digunakan. Disesuaikanlah dengan iklim kedaerahan dan bidang yang akan kita bidik.

*
Oya temen-temen. Ada cerita menarik selama ikut pelatihan. Lembaga Pendidikan Islam (LPI) tempat kami menginap, kami satu kamar dengan orang Sulawesi, tepatnya ia tinggal di Way Tangko. Namanya Nurhalimah, usianya sama dengan saya bedanya Halimah udah punya anak satu. Nurhalimah tinggal di daerah pedalaman, ajuh dari transportasi dan informasi. Kata Halimah, untuk keluar dari daerahnya membutuhkan waktu satu hari itu pun jalan kaki.

Halimah tidak lancer berbahasa Indonesia, berbicaranya selalu tersendat-sendat dan dia suka agak kesulitan mencerna kata-kata yang kami sampaikan saat mengobrol dengannya. Uniknya lagi, Halimah dan warga masyarakat di sana tidak pernah tahu siapa presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Bahkan, nama orang tua, adik beradiknya saja ia tidak tahu. Menurut kebiasaan orang sana, menanyakan nama satu hal yang dianggap tidak sopan (Tapi kalo nama presiden emang bener-bener ga’ tau dia).

Kehadiran Nur Halimah ke Bogor dalam rangka studi banding ke pabrik pengelola sawit. Keberadaannya di bawa oleh NGO Merah Putih. Sebuah lembaga pemberdayaan yang sangat peduli terhadap kemajuan tarap hidup masyarakat pedalaman.

Eh, udah dulu ya…kepanjangan ceritanya. Lain kali kita sambung dalam topic cerita yang berbeda. Terima kasih udah mau baca. Plis dikomentari.thx[]

Monday, February 11, 2008

Kenalan:

Hai Teman-teman, sudah lama saya menginginkan semua tulisan yang pernah diterbitkan di media lokal tempat saya tinggal, terpublikasi dengan baik. mohon maaf semua tulisan ini masih culun. maklumlah, saya bukan penulis hebat. masih tahapan belajar.

Tolong dikomentari semua tuliasan yang sudah teman-teman baca. apapun bentuknya saya terima dengan lapang dada.

terimakasih.

Soeharto di Mata Pers

Hari Minggu, 27 Januari, tepat pukul 13.10 Wib, dokter kepresidenan Republik Indonesia (RI) mengumumkan secara resmi wafatnya mantan Presiden RI, H. Muhammad Soeharto. Setelah kurang lebih tiga minggu soeharto tergeletak tak berdaya di rumah sakit Pertamina Jakarta, akhirnya hari itu juga Soeharto tutup usia yang ke-87 tahun. Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un. Tak lama kemudian Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) didampingi wakil presiden Yusuf Kalla, mengumumkan hari berkabung nasional selama 7 hari, atas wafatnya putra terbaik bangsa Soeharto.

Pada hari itu, hampir semua media elektronik tak henti-hentinya memberitakan perkembangan terbaru pasca wafatnya Soeharto. Rumah persemayaman di jalan Cendana dipadati handa taulan, kerabat dan warga yang ingin melihat secara langsung jasad terakhir Soeharto. Bahkan pagi harinya, ketika proses keberangkatan ke Solo, warga juga tampak antusiasme melihat secara langsung iring-iringan mobil jenazah soeharto. Almarhum akan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, pemakaman yang sudah dipersiapkan bagi keluarga Seoharto. Bisa dipastikan Jakarta macet total pada saat itu karena dipadati ribuan manusia yang hendak memberikan penghormatan terakhir pada mantan presidennya. Padahal, pada hari itu bukan hari libur nasional, bisa dibayangkan bagaimana jadinya, jika prosesi pemakaman soeharto bertepatan dengan hari libur.

Dari peristiwa yang baru saja diuraikan di atas, ini menujukkan bahwa masyarakat Indonesia masih bersimpati dengan mantan presiden RI ke dua, Soeharto. Sebenarnya, kepergian Soeharto menghadap sang khalik sudah bisa diprediksikan public sejak hari pertama beliau dirawat di RS pertamina. Kondisi kesehatan beliau ketika itu naik turun. Bahkan terakhir mengalami penurunan yang cukup drastic. Hanya tinggal menunggu waktu yang telah digariskan Sang Pencipta.

Semua media menampilkan kilas balik semasa hidup beliau. Ada yang menyanjung selama kepemimpinannya, ada yang membantai tiada ampun, namun ada pula yang arif dan bijak memberikan maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya selama ia memimpin negeri ini. itulah memori rakyat ketika Soeharto memimpin selama 32 tahun RI. Namun dari sekian banyak kilas balik tentang Soeharto di semua media elektronik, ada yang membuat saya tertarik mendengar kesaksian yang ditayangkan liputan 6 sore SCTV, yang bertajuk In Momeriam Pak Harto, ia seorang jurnalis kepresidenan di era Soeharto. Ia bernama Linda Djalil. Ia mengisahkan selama bertugas di Istana kepresidenan, insan pers ditempatkan sebagai manusia berkelas tiga.

Menurutnya, ketika itu tak satupun wartawan berani menjulurkan tape recordernya dengan lantang dihadapan presiden. Pernah satu ketika Soeharto di demo di negara Jerman, namun tak satupun wartawan berani menanyakan bagaimana perasaan beliau yang di hina di negara orang. Padahal soeharto memberi kesempatan pada wartawan untuk bertanya. Rasa takut dan segan terhadap sosok soeharto pun tampak dari menteri-menteri eranya ketika itu.

Tidak ada istilah wartawan sejajar dengan narasumbernya ketika itu, tidak seperti sekarang, presiden sekalipun bebas kita kuliti selagi masih berdasarkan data dan fakta. Ketika itu, wartawan dianggap manusia yang tak berarti. Bahkan perlakuan yang sama pun didapatnya dari kurawa-kurawa soeharto, dari sopir sampai tukang cuci piringnya pun memperlakukan wartawan tidak baik ketika itu. ia juga mengisahkan pernah suatu ketika para wartawan di undang pada acara buka puasa di kediaman keluarga cendana, apa yang didapat? Para wartawan yang meliput mendapatkan kue kotak yang didalamnya sudah dikermuni semut. “Inilah akibat contoh yang tidak baik, sampai kurawa-kurawanya saja ikut memperlakukan kami seperti binatang,” kata Linda, suaranya terdengar begitu geram. Padahal pers merupakan ujung tombang bagi sebuah bangsa.

Ingatan itu sepertinya begitu melekat dan sulit dilupakan dari ingatan Linda dan rekan-rekan jurnalis lainnya. Bagaimana bisa lupa? selain dibungkam, pers juga diperlakukan tidak manusiawi. Itulah sekelumit cerita dari kekejaman seorang Soeharto, masih banyak cerita sedih lainnya, sepertinya jika didokumentasikan akan banyak cerita yang akan terus menghakimi Soeharto dan kelurganya yang semakin hari, semakin tidak memiliki kekuatan apapun untuk membungkam rakyat-rakyatnya.

***

Hari-hari terakhir hidupnya, Soeharto meninggalkan persoalan hukum yang belum sempat ia selesaikan. Persoalan yang merugikan asset negara hingga mencapai triliunan rupiah tersebut menimbulkan kontroversi. Ada yang menghendaki Soeharto terus diadili, ada pula yang menghendaki kasus Soeharto diputihkan saja. Secara pribadi, saya menghendaki kasus hukum Soeharto terus di usut hingga betul-betul menemui titik terang. Persoalan yang merugikan banyak orang ini, nantinya tidak akan berhenti sampai di dunia saja. Ada pengadilan yang lebih agung dan maha adil kelak. Kesaksian di sana tidak akan terbantahkan.

Maka dari itu, pengusutan perkara Soeharto di dunia sesungguhnya membawa kebaikan bagi Soeharto dan keluarganya. Artinya, hukum dunia membantu meringankan hukum akhirat. Dan terpenting adalah, negara kita sudah memberlakukan hukum yang adil pada siapapun tanpa pandang bulu. Dengan begitu, penguasa yang akan datang berpikir dua kali lipat untuk melakukan kesalahan yang sama. Kalaupun kasus Soeharto memang harus diputihkan, sekurang-kurangnya ada pengakuan dari pihak keluarga Soeharto dan membenarkan atas kesalahan yang telah diperbuat oleh ayah mereka dan kroni-kroninya. Sukur-sukur, kekayaan negara yang pernah diakuinya dikembalikan ke kas negara. Tapi rasanya mustahil.

Sekarang Soeharto sudah menghadap Ilahi, persoalan yang belum terselesaikan semoga bisa terselesaikan dengan arif dan bijaksana baik dari keluarga maupun penyelenggara hukum negeri ini. Bantu pahlawan kita dengan cara memberikan kesaksian yang jujur. Dan tepatkan diri kita pada titik nol. Dengan begitu, kita sebagai warga negara sudah meringankan ia dalam melaporkan pertanggungjawabannya sebagai pemimpin negeri ini kepada sang Khaliq. Selamat jalan pahlawan ku, semoga pengabdianmu dalam membangun bangsa ini diterima oleh Allah SWT. Terima kasih atas segalanya.[]

Eni Muslihah

Dimuat di Harian Lampung Post

Badai Tak Kunjung Berlalu

CERPEN ENI MUSLIHAH


14 Januari 2008

Penulis lepas

Tinggal di Bandar Lampung

Namaku Fatimah, aku punya satu anak laki-laki dari hasil perkawinan dengan suamiku Yatman. Nama anakku Aziz, kini ia berusia 3 tahun. Aku bersyukur pada Allah SWT atas karunia suami dan anak yang telah diberikan kepadaku. Kami sekeluarga sangat bahagia, satu sama lain saling menghargai dan mengasihi. Usiaku lebih tua tiga tahun dari suami ku, tapi itu bukanlah persoalan bagi suami tercintaku.

Seiring berjalannya waktu, kebahagiaan itu tidak lagi ku rasakan, ketika suami ku mulai sakit-sakitan. Tepatnya dua tahun belakangan, ia di vonis dokter terserang penyakit kanker kelenjar leher. Ada benjolan dibagian leher, semakin lama semakin membesar. Dokter menyarankan kanker itu harus segera di angkat, jika tidak akan fatal bagi kesehatan suamiku. Saran dokter pun kami ikuti demi kesehatan suamiku. Usai operasi, suamiku masih harus menjalani kemoterapi lagi, untuk menggagalkan menyebarnya sisa-sisa kanker itu. karena menurut dokter, suami ku sudah mengalami stadium tiga.

Semakin lama kondisi suamiku semakin lemah. Pada titik tertentu ia harus berbaring di atas tempat tidur. Sementara, kebutuhan hidup terus bertambah. Untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari aku menggantikan peran suamiku sebagai kepala rumah tangga. Aku bekerja sebagai guru bimbingan belajar (bimbel). Dari pagi sampai malam aku sibuk dengan pekerjaanku, karena aku sangat menguasai dunia pendidikan, maka aku kerahkan semua ilmuku di sebuah lembaga pendidikan. Cukup terbilang lumayan, aku mendapat jatah mengajar 8 jam, dari rumah ke rumah. Setiap aku mengajar, Aziz ku titipkan pada ibuku, setelah aku selesai mengajar barulah pulang kerumah kontrakan dan mengurus kebutuhan suamiku.

Awalnya suamiku faham sekali dengan kesibukanku dalam menggantikan perannya, sesekali ia memandangku lekat. Seolah ada kata yang ingin disampaikan pada ku, tapi tak tersampaikan, air matanya mengalir. “Aku minta maaf bu, tidak bisa membahagiakan mu. Ayah bukan suami yang baik, tidak bisa menafkahkan istri dan anak lagi,” kata suamiku. Tak tertahan rasanya menahan emosi ingin menangis, butiran air mata pun menetes dan membasahi pipiku. “Ayah, suami ku yang baik, semua ini adalah kehendak Allah, Allah menguji kita lewat sakit ayah. Percayalah, suatu saat badai pasti berlalu,” kataku, sambil memijat kaki suamiku.

Begitulah rutinitas keseharianku. Cukup melelahkan. Selain bekerja, aku harus mengurus suami dan anakku. Sedikitpun aku tidak pernah mengeluhkan masalah ini pada suami atau keluarga. Hingga pada waktu tertentu, suamiku meminta ibu mertuaku tinggal bersama kami, untuk mengurusi kebutuhan suamiku yang semakin hari tidak berdaya.

Disanalah awal perpecahan keluarga kami. Sepekan pertama, gejala kehancuran rumah tangga kami kami mulai terlihat. Awalnya, suamiku menuntut supaya aku berhenti bekerja. Ia merasa kurang mendapat perhatian dari ku. “Tugas kamu mengurus suami, bukan keluyuran begitu,” kata suamiku, sambil bertolak pinggang menyambut kedatanganku dengan nada keras. Tidak biasanya ia bersikap aneh, mendengar perkataannya itu, jantungku langsung berdetak kencang. Tak menjawab sepatah katapun, aku langsung membawa anakku keluar, pulang ke rumah ibuku. Sepanjang jalan, aku memikirkan perkataan suamiku. Tapi aku berusaha mengevaluasi diri, kenapa suamiku tega bersikap demikian. “Ah.. aku ini sungguh istri tidak tahu diri, suami sakit, justru aku menambah jam pelajaran,” hati kecilku berkata. Aku berusaha mafhum dengan kondisi suami saat ini. Aku pun berfikir untuk mengurangi jam mengajar. Masalah yang baru saja menimpa, urung aku ceritakan pada kedua orangtua.

Keesokan harinya, aku pulang ke rumah kontrakan kami dan berharap sejuta kata maaf keluar dari mulut suamiku. “Ayah, ibu pulang!” kata ku menghampiri suami lalu menyium keningnya. Tapi sayang, suamiku diam seribu bahasa. “Ayah masih marah dengan ibu ya?” Tanyaku. “Ibu faham, kenapa ayah marah. Ibu janji deh, besok ibu akan meningkatkan kuantitas pertemuan kita. Tapi janji ayah jangan marah lagi ya?” celotehku, mengharap suami tidak bersikap dingin lagi.

Tapi sungguh di luar dugaan. Rayuanku bersambut tamparan yang mendarat dipipi kananku. “Kamu ini perempuan bermuka dua. Kamu tidak pernah ikhlas kan atas uang yang kau keluarkan untuk kesembuhanku?” marahnya. Entah setan dari mana yang meracuni pikirannya, sampai-sampai suamiku bisa berdiri hanya untuk memaki dan menghardikku. “Demi Allah yah, aku ikhlas membantu pengobatanmu, dari mana ayah dapat berita tidak benar itu?” Tanya ku, sambil memegangi pipi kanan ku yang baru saja terkena tamparan tangan suami sendiri.

Siang itu merupakan hari pertama perang hebat antara aku dan suami. Saking kerasnya teriakan suamiku, tetangga kanan-kiri menyaksikan pertarungan hebat kami. Untuk kali ini, aku tetap berusaha tidak menceritakan kejadian ini pada keluargaku, aku punya keyakinan tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik. Lagi-lagi aku tidak pernah menganggap itu sebagai perkara besar. Malam seusai salat magrib, aku menghampiri lagi suamiku yang barbering di kasur. Aku berusaha memijat kakinya, seperti apa yang biasa ku lakukan sebelum ada ibu mertuaku. Dengan ragu tanganku menggapai kakinya.

Apa yang ku dapat, ia meronta-ronta dan berteriak seperti anak kecil. “Jangan sentuh aku, jangan sentuh aku. Aku ga’ mau dipegang dengan Fatimah,” teriaknya. Ia berkata demikian sambil berteriak memanggil-manggil ibunya. Dari arah belakangku, ibu mertua datang, kemudian langsung memeluk putranya. “Enyah kau dari sini, kehadiranmu tidak dikehendaki anakku lagi,” kata ibu mertua ku. Dari situ aku baru tahu, ternyata penyebab perpecahan rumah tangga kami tidak lain adalah ibu mertuaku sendiri. Emosiku pun memuncak. “Baik, ibu ga’ usah repot-repot, malam ini juga saya pergi,” jawabku yang juga menegang.

*

Sebulan aku tidak pulang ke rumah kontrakan. Aku dan Aziz tinggal di rumah orangtua ku. Ada secercah harapan, suatu saat keluarga suamiku menjemput dan memita aku kembali ke rumah kontrakan kami. Tapi sayang, harapan itu tak kunjung terjadi. Tepatnya, hari Sabtu sore, Aziz menangis terus, anakku merenge minta bertemu dengan ayahnya. Sebagai seorang ibu, aku tidak tega melihat anakku menangis. Aku tidak pernah melihat anakku menangis sampai 3,5 jam. Akhirnya, ku putuskan untuk mengantar anakku bertemu ayahnya. Seperti yang sudah ku duga, suami ku pun merindukan Aziz. Sedangkan aku, sepatah kata pun tidak mendapatkan tegur sapa dari suamiku. Sepertinya aku benar-benar tidak diharapkan lagi. Sebulan sudah aku berada di rumah yang kini jadi neraka bagiku. Sebulan itu juga suamiku tidak menegur. Manusia mana yang tahan jika tidak di ajak bicara dengan orang terdekatnya?

Suatu hari, ibu mertua menghampiriku. Ia meminta uang, menurutnya, uang yang dahulu pernah ku tinggalkan untuk pengobatan suamiku sudah habis. “Suamimu mau berobat, tapi uangnya ndak ada. Uang ibu juga sudah habis,” kata ibu mertua. Ibu mertuaku menabahkan, belakangan proses pengobatan di dokter sudah dihentikan, mengingat biayanya mahal. “Jadi supaya tetap berobat, ibu memutuskan pindah berobat ke paranormal saja,” tambahnya.

Aku adalah seorang muslimah, bagiku ikhtiar melalui paranormal atau dukun, merupakan hal yang sangat bertentangan dengan syariat Islam. Aku pun tidak menyetujui permintaan ibu mertuaku. “Maaf bu, perkara yang satu ini saya tidak setuju, itu syirik bu, dosa besar. Allah tidak akan mengampuni dosa kita,” jawabku. Aku tidak mau lantaran suamiku tidak ada perubahan dalam sakitnya, kemudian menyerahkan kesembuhannya pada seorang dukun. Ini masalah keyakinan (akidah), sampai kapan pun tidak akan pernah ku gadaikan dengan apapun.

Rupanya suamiku mendengarkan percakapan kami, percekcokan antara aku, suami dan ibu mertua pun terjadi. Tiba-tiba suamiku balik kearah belakang, mengambil sebuah gunting. Ketika perdebatan antara aku dan ibu mertua, tiba-tiba ada sebuah benda tajam sudah menempel ke pinggang sebelah kananku. Perdebatan itu pun berhenti sejenak. Dengan nada berani dan lantang aku menantangi suamiku. “Dulu kamu menampar pipi ku, sekarang kau mau membunuhku? Silakan, Aku tidak pernah takut dengan kematian,” kataku dengan nada bergetar. “Ayo bunuh aku, bukankah ini yang kau dan keluargamu inginkan?” suaraku makin mengeras.

Baru kali itu, aku sangat berani dengan suamiku, mendengar teriakanku, anakku, Aziz terbangun dari tidurnya dan menangis memanggil namaku. Spontan aku langsung berlari ke kamar mengambil anakku, kemudian membawanya pergi dari rumah yang kian hari semakin memanas saja. Inilah puncak dari perpecahan keluarga kami. Aku sudah tidak bisa memaafkan perlakuan suamiku lagi. Tapi sekali lagi tetap ada pertimbangan mengenai posisi anakku.

Masalah ini sudah tidak bisa kutahan lagi, aku ceritakan persoalan ini pada teman karib ku Yani. Kami berteman sejak tiga tahun lalu, tapi se-iya dan se-kata sudah terjalin antara kami. Yani terkejut ketika mendengar permintaan cerai ku atas rumah tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi. Kali ini Yani tidak bisa berkomentar mengenai permasalah yang menimpaku. “Aku tidak bisa berkata-kata Fat, tapi jika memang harus cerai, cobalah kita minta nasihat dengan Ustadz Jauhar. Mungkin, ada solusi yang menenangkan mu,” tanggapan Yani, atas ceritaku.

Keesokan harinya, pagi sekali kami mengunjungi Ustadz Jauhar. Aku ceritakan semua permasalahan rumah tanggaku dengan se-detil-detilnya. “Perceraian bukanlah hal yang disukai Allah dan rosulnya,” nasihat Ustadz Jauhar. Tapi kalau kondisinya sudah seperti ini tentu ada pertimbangan dari berbagai ahli tafsir. “Jika Fat bisa bersabar dengan kondisi itu, silakan. Sampai batas kesabaran yang Fat tentukan sendiri,” lanjut Ustadz Jau.

Ustadz Jauhar menyerahkan kembali persoalan ini padaku, aku beryakinan berpisah jalan terbaik. Dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, aku mendaftarkan diri ke kantor pengadilan agama di Tanjungkarang. Pengadilan pun menerima pengaduanku. Dua bulan sudah kami tidak bertemu, Aziz sebagai anak hasil pernikahan kami, terpaksa harus digilir sehari di rumah orangtuaku, sehari di rumah kontrakan suamiku. Kami berdua sepakan untuk berpisah.

Surat cerai, pihak keluarga suami ku tidak mau mengurusnya. Karena ini gugatan ku, maka aku pun harus mengurus surat-suratnya. Aku merasa sedikit lega dari hari sebelumnya. Tapi walau sudah berpisah dengan suami, aku tetap membantu biaya pengobatannya. Ntah ini jawaban dari doa-doa yang ku panjatkan pada Allah SWT, selama kebersamaan ku pada suami, aku selalu minta yang terbaik untuk aku dan suami ku. Aku minta diselamatkan akidah dan agama kami, dalam doaku tak henti-hentinya membayangkan wajah suami tercintaku.

Hari Jumat, pukul 09.00 wib, aku mendapat kabar, suami ku telah meninggal dunia. Kata pihak keluarga suami ku, kepergian suami ku cukup mendadak, mungkin karena sakit yang hebat, sehingga ia tidak sanggup menahannya. Selamat jalan suami ku, mungkin ini jalan yang berbaik buat kehidupan dunia dan akhirat kita. Allah tidak menghendeki pertengkaran terus-terusan antara kita. Semoga amal ibadah mu diterima-Nya. Amin.[]

Belajar dari Pilkada DKI

Eni Muslihah

Mahasiswi Darmajaya

Bandar Lampung

Resensi Buku

Judul : Jakarta Memilih Pilkada dan pembelajaran demokrasi

Tebal : 299 halaman

Cetakan : 1, November 2007

Penerbit : Kompas

Masih ingat dengan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta? Tepatnya tanggal 8 Agusuts 2007, masyarakat ibu kota negara Indonesia penuh dengan antusiasme menentukan pilihan kepala daerah yang pertama kalinya di Jakarta. sebagai ibu kota negara tentunya pilkada menjadi magnet tersendiri. Karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan, perekonomian dan sentra lainnya. Maka tidak heran jika berbagai lembaga survei unjuk kebolehan dalam mempraktikkan penelitiannya di sana. Harian Kompas merupakan satu-satunya media nasional yang turut andil melakukan survei menelitian melalui litbangnya. hasil perhitungan cepat kompas hanya terpaut 0,11 persen dari hasil perhitungan resmi KPU Jakarta.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan suplemen pilkada yang ditulis sejumlah peneliti psikologi social dari Universitas Indonesia Niniek L Karim, Bagus Takwim, Dicky Pellupessy dan Nurlyta dan wartawan Kompas. Tujuannya, memberikan informasi seluas-luasnnya pada masyarakat Jakarta yang memiliki hak pilih pada pilkada tersebut.

Pada pilkada DKI Jakarta muncul sebagai pemenang, pasangan nomor urut 2 Fauzi Bowo-Prijanto meraih 2.109.511 suara (57,87 persen), sementara Adang-Dani 1.535.555 (42,13 persen). Secara hitungan matematis memang Fauzi-Prijanto menang dalam pilkada DKI Jakarta, namun secara subtansial kemenangan itu ada pada Adang-Dani. Bagaimana tidak? Adang-Dani diusung hanya dengan satu perahu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hanya berselisih 15,47 persen, sementara Fauzi-Prijanto diusung 20 partai politik (PDIP, Golkar, PPP, PDS, dll). Bayangkan, kalau saja Adang-Dani diusung lebih dari satu partai saja, mungkin kondisinya akan berbalik. Tidak diragukan lagi, kader PKS cukup solid, siapa pun orangnya pasti akan mengakui hal itu. itulah modal besar yang dimiliki PKS, dimana partai lain tidak memilikinya. Kalau boleh sumbang saran, tidak ada salahnya jika partai lain menyontoh partai ini.

Kembali pada subtansi buku ini. Buku ini mengupas tuntas problematika ibu kota yang begitu kompleks, visi misi kandidat, prilaku kandidat dalam berkampaye sampai pada statemen Dadang Darajatun yang menerima secara sportif kekalahannya. “Menang dan kalah itu hal yang wajar dalam pertarungan, saya beserta masyarakat Jakarta lainnya siap membantu memperlancar program Fauzi Bowo,” kata Adang, sehari setelah sehari pasca pemilihan.

Problem lalu lintas, masalah banjir, kemiskinan dan sampai pada masalah etnik beragam di DKI Jakarta. Semua persoalan itu rasanya mustahil jika bisa diselesaikan dalam jangka waktu 5-10 tahun. Terbukti, masalah kemacetan setiap hari, bajir tahunan, pemukiman kumuh saja, tidak pernah ada yang terselesaikan dengan benar. Sekalipun Jakarta dipimpin oleh orang yang berkompeten didalamnya selama ini.

Menanggapi persoalan ibu kota Fauzi Bowo selaku gubernur terpilih 2007-2012 mengatakan dalam visi misinya, Jakarta akan dijadikan nyaman dan sejahtera. Nyaman adalah refeleksi dari masyarakat untuk selalu hidup aman, tertib, tentram dan damai. Sementara sejahtera, masyarakat Jakarta ada pada posisi hidup sehat, mempu memenuhi tuntutan masyarakat dan mampu mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

Dalam menyikapi banjir yang sudah akrab dengan masyarakat Jakarta, Fauzi akan menyediakan angkutan missal dan mengurangi volume kendaraan pribadi. Pada mobil tertentu akan diberlakukan pembayaran saat melintasi jalan tertentu. Tak lupa untuk masyarakat miskin, Fauzi akan memberikan pendidikan gratis sampai tingkat SLTA, pelayanan kesehatan gratis semua puskesmas yang ada di Jakarta dan rumah sakit pemerintah dan memberikan bantuan modal pada masyarakat miskin untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Untuk masalah banjir, Fauzi berjanji akan menguranginya dengan cara pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) di wilayah utara dan timur Jakarta, pembangunan ini ditargetkan tahun 2009 terselesaikan.

Secara subtansi, saya pikir buku ini baik kalau dijadikan pegangan bagi masyarakat yang memiliki hak pilih, khususnya masyarakat Jakarta yang baru saja merayakan pesta demokrasi. Selain memberi pelajaran pada daerah lain yang belum melakukan pemilihan, buku ini juga merekam secara utuh, janji-janji kedua kandidat. Ke depan, jika ada program yang tidak kunjung terealisasi, masyarakat Jakarta bisa mengingatkan kandidat terpilih. Walaupun secara hukum, janji lewat kampanye sulit untuk dimintai prtanggungjawabannya. Tapi tidak salah jika rakyat mengingatkan pemerintahnya melalui dokumen yang sudah terkumpul secara rapi dalam buku ini.

Masyarakat kita sekarang sudah semakin cerdas dalam berpolitik, sudah tidak saatnya lagi masyarakat hanya diberikan janji dari calon pemimpinnya. Sebagai pembelajaran bagi partai politik, perlu diketahui saja, selama perjalanan pilkada maupun pemilu, sebagian masyarakat tidak lagi menggunakan hak pilihnya. Pada pilkada DKI Bulan Agusutus lalu, masyarakat yang memilih menjadi golongan putih (golput) sebanyak 1.987.539 (34,59 persen) dari 5.746.601 pemilih yang terdaftar.

Tugas partai politik, meyakinkan masyarakat yang tidak memberikan hak pilihnya. Biasanya, masyarakat yang menyatakan golput adalah masyarakat menengah ke atas yang enggan terlibat di dunia politik. Banyak alasan yang mereka kemukakan. Satu diantaranya politik itu kejam, identik dengan merebut kekuasaan, masih banyak yang lainnya. Meyakinkan masyarakat satu ini perlu ada pendekatan khususnya. Misalnya parpol tidak lagi sekedar mengumbar janji. Mereka butuh bukti yang konkrit, mungkin ke depan mereka akan tertarik dengan partai Anda.

Lampung, sebentar lagi akan menyelenggarakan pilgub secara langsung untuk pertama kalinya. Beberapa kandidat sudah mulai menyosialisasikan diri baik lewat pertemuan secara langsung maupun iklan ditempat-tempat strategis untuk mencari simpatik dari masyarakat Lampung. Sekali lagi apa yang dilakukan semua kandidat tidak ada yang salah. Tapi perlu diketahui, masyarakat sudah cerdas. Maka dari itu, kepada partai politik manapun, berikan pelajaran politik yang baik dan sehat kepada masyarakat. itu lebih baik ketimbang memberi selembar rupiah dan sekilo sembako. Wallahualam bishowab

Sengketa Lahan: Warga Dusun 12 Karawang Berharap Hidup Aman

BANDAR LAMPUNG: Sekitar 100 kepala kelaurga (KK) mengeluh resah akan terjadi konflik yang hebat pada Rabu (13-02) mendatang. Konflik ini ditengarai perebutan lahan antara PT Central Pertiwi Bahari (CPB) dengan warga Dusun 12 Kampung Kerawang Baru, Desa Sungai Nibung, Dente Teladas, Tulang Bawang. Hal itu disampaikan wakil Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD Provinsi Lampung Johan Sulaiman, pada jumpa pers disekretariatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung, Senin (11-02) kemarin. Rencananya pihak CPB akan menurunkan sebanyak 13 ribuan preman untuk menyerang warga.

Menurut Johan, konflik ini bermula dari pengurangan lahan (CPB) yang semula 16.221,04 Ha merubah menjadi 7.864,84 Ha. Perubahan lahan ini dikeluarkan oleh menteri kehutanan 25 Mei 2007 lalu, dengan alas an dari lahan semula, hanya 6 ribu di kelola CPB. Berdasarkan pengakuan salah satu warga yang tidak bersedia disebutkan namanya, dari sekian lahan yang diberikan pemerintah, hanya sekitar 6 ribuan Ha saja yang dikelola. “Atas dasar pertimbangan itu, maka menhut mengeluarkan SK pengurangan areal industri untuk CPB,” kata Johan. Sisa lahan yang tidak terpakai diserahkan pada masyarakat setempat.

Masih menurut warga, CPB tidak menerima SK kemeterian dan berusaha merebut lahan itu kembali dari warga. “Selama 2 tahun berkonflik, kami tidak bisa bercocok tanam,” kata salah satu perwakilan warga. Menurutnya, pihak warga sering mendapatkan intimidasi dari sekelompok oknum aparat yang dikoordinir oleh CPB. Selain itu, areal yang ditempati warga, saat ini sudah dikelilingi kanal dengan kedalaman dan lebar 4 x 4 meter.

Pembuatan kanal ini membuat warga setempat kesulitan untuk akses keluar dari areal 600 Ha yang di klaim milik CPB. “Tapi kami juga tidak kurang akal, supaya akses keluar mudah, warga yang dibantu desa tetangga melakukan pengurukan kanal tersebut,” kata dia. Sejauh ini warga sudah melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib dan Komnasham. Namun, menurutnya, warga yang melapor malah dipenjarakan. “Pernah kami melapor ke kepolisian daerah, tapi perwakilan warga dari pihak kami malah diamankan,” ujarnya.

Untuk menyelesaikan sengketa register 47 ini warga sudah melapor sampai Gubernur Lampung. melalui surat gubernur ang bernomor 700/10/IV.05/2008 tembusan ke Bupati Tulang Bawang, gubernur meminta pihak CPB maupun warga berkoordinasi dengan pihak terkait.

Akibat sengketa itu, menurutnya, sekolah SD 3 Kibang Menti Jaya dan beberapa rumah ibadah hancur. “Sekarang sekolah itu, hanya dihuni sekitar 12 siswa,” tambahnya. Tidak hanya itu saja, warga juga kesulitan mendapatkan makanan yang bergizi. Ia menambahkan warga desa ini sekarang hanya bias makan nasi yang sudah dicampur pisang atau ketela. “Pokoknya serba prihatin. Sekali lagi, kami meminta perlindungan pada pihak yang bias melindungi kami,” katanya, tampak melemah.

Sementara, F-PKS mengaku baru menerima pengaduan ini sekitar pukul 10.00 WIB (11-02), ketika itu F-PKS sedang rapat. Usai menerima pengaduan warga Tuba, PKS langsung mengontak Kepala Kepolisian Daerah Lampung. dan menurut Johan, Aleg DPR-RI PKS asal Lampung juga sudah mengontak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Sutanto, meminta jaminan keamanan pada tanggal tersebut. BERSAMBUNG [Eni Muslihah]

Mengapa Barack Obama?

RESENSI BUKU
Judul : BARACK HUSSEIN OBAMA, Kandidat Presiden Amerika yang Punya “Muslim Connection”
Penulis : Anwar Holid
Tebal :193 halaman
Penerbit : Mizania
Terbitan : Oktober 2007 (perdana)

Barack Hussein Obama, saat ini merupakan salah satu kandidat presiden Amerika Serikat yang sejak tahun 2004 angin bagus sedang condong padanya. Ya, dia adalah sosok lelaki keturunan American-Africa dan pernah 4 tahun berada di Indonesia, menikmati masa kanak-kanaknya, namanya terus melabung kepermukaan perpolitikan Amerika. Usianya 45 tahun, tapi pemikiran social-politiknya begitu mengental.

Secara eksplisit maupun implicit dukungan pada lelaki yang punya nama unik ini terus bergulir. Baik dari keluarga, para senator, pejabat lembaga, peerintahan dan lainnya. Bahkan ada dua media yang secara terang-terangan mendukung penyalonannya. Media cetak maupun elektronik turut andil membesarkan namanya. Seperti Majalah Time, pada edisi 23 Oktober 2006 lalu majalah ini pernah memasang foto close up Barack Obama sambil tersenyum sebagai cover majalah tersebut. Bahkan majalah ini secara terang-terangan memasang headline dengan judul ”Mengapa Barack Obama Bisa jadi Presiden Selanjutnya” berita ini ditulis oleh jurnalis terkemuka Joe Klein.

Salah satu edisi tahun 2005 majalah Time juga memasukan Barack Obama sebagai daftar 100 orang pertama yang paling berpengaruh, sementara News Star Man membuat berita Obama merupakan daftar 10 orang pertama yang mampu mengubah dunia. Hal sama pun dilakukan oleh media terkemuka lainnya di Amerika, seperti Rolling Stone, Newsweek dan lainnya. Semua media itu menggembar-gemborkan Barack Obama merupakan satu-satunya keturunan Afrika yang berkemungkinan menjadi presiden Amerika Serikat. Hal itu pun diamini sejarawan Amerika.

Ini rekor terbaru, sepanjang sejarah Amerika 220 tahun, Barack Obama merupakan senator keturunan Afrika yang ke lima. Dan saat ini Obama lah satu-satunya keturunan Afrika yang masih memegang jabatan dan kini menjadi kandidat presiden negara adidaya. Publik Amerika menaruh harapan padanya. Mereka yakin akan keberanian Obama suatu saat image buruk tentang Amerika akan menghilang. Buplik Amerika sudah muak dengan Presiden AS sekarang George W Bush, di mata mereka, Bush Junior punya reputasi buruk, ia tidak ada bedanya dengan ayahnya, yang selalu bertindak agresif, militeristik, dan campur tangan dengan urusan dalam negera lain.

Menurut Rizal Mallarangeng, Amerika saat ini dahaga akan pemimpin yang merangkul, seorang Heal Maker, seorang yang sanggup membangun jembatan bagi begitu banyak perbedaan yang ada di Amerika. Uniknya, jiwa yang seperti itu mereka temukan pada sosok lelaki yang punya keturunan American-Africa, Barack Hussein Obama.

Dalam buku karangan Anwar Holid ini digambarkan, Obama selain padai berbicara yang mengikat publik, ia juga pandai menulis melampaui dari semua kandidat yang ada. Selama ini Barack Obama sudah menulis 2 memoar yang amat sukses (Dreams From My Father (1995) dan Audacity of Hope (2006). Kedua memoar ini berangkat dari perjalanan hidupnya. Kedua bukunya sempat mengalami cetakan ulang, tidak tanggung-tanggung sekali cetak mencapai puluhan juta eksemplar. Dan itu laris dipasaran Amerika.

Saat ini kehidupan masa lalu dan asal muasalnya menjadi perhatian public Amerika. Kontroversi suatu hal wajar. Publik yang tidak mnyenanginya, berusaha sekuat mungkin menjatuhkan menyalonannya sebagai presiden. Sasaran yang paling empuk menjatuh Obama adalah ras, agama dan masa remajanya yang pernah terjebak dalam Narkoba. Selama 220 tahun sejarah Amerika, belum pernah satu pun keturunan kulit hitam berani berlaga di bursa kepresidenan. Keturunan kulit hitam masih di anggap asing di sana. Jika pun suatu ketika Barack terpilih menjadi presiden Amerika yang berikutnya, ini merupakan petaka besar bagi yang tidak menyenanginya. Tapi di satu sisi, sejarah Amerika akan mencatat ini adalah perubahan yang luar biasa bagi negara adidaya.

Artinya, warga keturunan Afrika yang termarginalkan tidak lagi di anggap sebelah mata oleh Amerika kulit putih. Amerika akan benar-benar menjadi negara plural yang menyingkirkan rasisme yang selama ini memecah belah persatuan negara tersebut. Dalam pidato konservatif nasional partai Demokrat (Democratic National Concervative (DNC)) Selasa, 27 Juli 2004, Obama mengatakan tidak ada Amerika liberal atau pun konservatif yang ada ialah USA (United State of America). ”Para cindikiawan kita mengiris-iris negara kita menjadi negara bagian biru untuk kaum Republik dan negara bagian merah untuk kaum Demokrat,” kata Obama dalam pidatonya dihadapan masyarakat negara bagian Illinois, tempat ia menjadi senator muda.

Di Amerika rasisme sangat lemah dan kecil, tapi sangat mematikan. Patut diketahui keturunan Afrika selama beberapa dekade hanya lima orang saja yang bisa menjadi senator. Tahun 2006 lalu Amerika pernah dikejutkan oleh Keith Ellison (Partai Demokrat) yang tidak hanya keturunan Afrika tetapi ia juga seorang muslim yang menjadi anggota kongres. Bahkan pada pelantikannya Maret 2006 lalu, ia bersikeras minta di sumpah menggunakan kitab suci Alquran.

Keith Ellison dan muslim Amerika memberikan dukungan sepenuhnya pada Barack Obama, karena Keith yakin permasalah kemiskinan, rasisme, perekonomian secara adil di Amerika akan tertegak jika kelak Obama menjadi presiden Amerika mendatang. Yang terpenting kebebasan dalam beragama di Amerika akan terwujud juga.

Meskipun Obama memiliki nama seperti orang muslim juga punya Muslim Connection, bukan berarti Obama adalah seorang muslim. Tapi setidaknya misi dan visi yang disampaikannya cukup mengena di hati kaum minoritas maupun kaum sebagian besar Amerika. Selama ia menjabat sebagai senator muda di Illinois, kinerjanya cukup mendapat dukungan positif dan belum pernah cacat.


Menurut saya, buku ini sangat bagus dan obyektif. Penulis memaparkan secara utuh sisi baik dan buruknya sosok Barack Hussein Obama yang saat ini sedang naik daun di dunia perpolitikan Amerika. Sisi baiknya, ia orang yang tidak pernah mengkhianati rakyatnya selama ia menjadi senator muda di Illinois. Tapi sisi buruknya, banyak cerita tentang dirinya melalui situs di internet, bahwa Obama bermuka dua. Selain itu, riwayat keluarga yang ia ceritakan dalam memoar Dreams From My Fahter, kebenarannya ceritanya tidak seutuhnya benar. Ada sebagian yang disembunyikan.

Kemudian, walaupun Obama lahir dan pernah besar dilingkungan muslim, namun pada akhirnya ia mmilih untuk menjadi kristiani. Selain itu, di masa pencarian jati dirinya ia terlibat dalam dunia hitam. Mengonsumsi narkoba, perokok berat, dan minum-minuman beralkohol. Namun, masa kelam itu ia tinggalkan. Itulah sasaran empuk musuhnya untuk menjatuhkan sosok Obama yang saat ini sedang melegenda.

Saya menganjurkan pada seluruh kepala daerah di Lampung baik yang sudah terpilih maupun yang saat ini sedang menyalonkan diri sebagai kepala daerah, untuk membaca dan mempelajari sepak terjang Barack Obama. Dengan harapan, sosok Obama bisa menjadi inspirasi bagi Anda semua. Supaya menjadi pemimpin yang tidak mengingkari janji. Cukuplah George W Bush menjadi pelajaran bagi kita, ia kini sudah ditinggalkan rakyatnya, lantaran keegoisannya selama memimpin Amerika Serikat. Mungkin, jika kedepan ternyata Barack Obama benar menjadi presiden Amerika, mungkin dunia barat akan menjadi kiblat negara lain menuju perubahan yang lebih berarti.

Catatan sedikit saja untuk penulis ataupun penerbit, meskipun pengumpulan datanya relatif lengkap, ada baiknya, penulis memerhatikan ejaan. Menurut saya, selama saya membaca buku ini ada beberapa kesalahan pengetikan. Memang tidak banyak, tapi hal itu bisa mengganggu kekhusukan pembaca. Kemudian ada beberapa halaman yang muncul kembali pada halaman berikutnya. Saya pikir itu juga mengganggu. Saran saya, untuk cetakan berikutnya, mohon diperhatikan secara detail baik dari segi pengetikan ejaan maupun halaman demi halaman.[]

Eni Muslihah
Penggiat Bengkel Jurnalis, tinggal di Bandar Lampung