ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Pages

Tuesday, January 11, 2011

EO Termehek-mehek


Alhamdulillah, tetanggaku sudah mendapatkan haknya dari tetangga lainnya. Sebut saja Siti Halimah, dia seorang ibu rumah tangga, usianya 22 tahun memiliki satu putra yang baru berusia 5 bulan, suaminya bekerja sebagai buruh panggul beras di Pasar Bambu Kuning. Siti beserta suami dan anaknya untuk sementara waktu tinggal ditempat ibu mertua. Bersyukur, kelihatannya Siti mempunyai mertua yang pengertian lagi saying padanya. Hal itu dibuktikan, saat Siti sakit, ibu mertuanya yang pontang-panting mengurus Ihsan (anak Siti).
**
Pertengahan bulan Desember 2010, Siti bermain ke rumah orangtuanya yang terletak dibilangan Flamboyan, Enggal, Bandar Lampung. Siti ingin menjenguk kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Si abah sakit Prostat sementara emak sakit batuk-batuk, konon cerita, emak punya penyakit TB paru yang belum tersembuhkan.

Hari kian sore, Hendra (suami Siti) mengajak Siti untuk pulang ke Kaliawi. Siti Nampak berat meninggalkan rumah orangtuanya, karena rasa rindu yang sembuh terobati. Bagaimanapun juga, Siti adalah istri yang sudah semestinya tidak membantah ajakan suami. Siti pun pulang dengan menanggung rasa rindu kepada emak dan abah yang belum tertuntaskan.

Azan magrib berkumandang, SIti beserta suami dan anaknya pun sampai di rumah mertua di Kaliawi. Wajah emak dan abah pun belum lenyap dari baying-bayang Siti. Pikiran yang terus tertuju pada emak dan abah membuat Siti akkhirnya meriang. Tubuhnya panas-dingin, batuk-batuk yang sudah seminggu pun semakin mengguncang jantungnya, tanpa dikehendaki, darah segar keluar dari mulut Siti.

Meskipun sudah batuk darah, suami SIti tidak langsung membawanya ke puskesmas terdekat, karena memang batuk yang Siti alami, memang sudah lama dan dianggap biasa. Seiring berjalannya waktu, kondisi kesehatan SIti semakin menurun, barulah Hendra dan keluarganya mengajak SIti periksa ke puskesmas.. Dokter yang bertugas tidak bias mengatakan penyakit yang diderita SIti, dan puskes tempat Siti periksa menyarankan untuk dirujuk di rumah sakit terdekat. Anjuran dari puskes diabaikan, SIti pun hanya menjalani perawatan alakadarnya. Tapi kondisi kesehatan Siti kembali menurun, Hendra memutuskan untuk membawanya ke dokter, namun, saying, dokter pun tidak bias menyebutkan secara pasti penyakit yang diderita Siti karena keterbatasan alat yang dimiliki dokter tersebut.

Melalui medis tidak juga kunjung sembuh, keluarga Siti pun memutuskan untuk melanjutkan pengobatannya ke altrnatif. Di sana, SIti disuruh makan hati kalong. Saran yang sungguh tidak bias masuk akal itu dia ikuti dengan sepenuh hati agar Siti kembali sembuh. Maklum selama sakit, Hendra berhenti bekerja karena harus bergantian merawa putranya bernama Ihsan juga Siti yang tergeletak lemah dipembaringan lantaran sakit yang belum diketahuinya itu.
**
Berita sakitnya Siti sebetulnya sudah seminggu ku dengar, aku tak menghiraukan, karena ku berfikir itu bukan sakit yang serius. Mungkin hanya maag saja karena yang ku tau, memang SIti tidak beraturan menjaga pola makannya, mungkin karena lambungnya sudah begitu sakit, hingga akhirnya batuk yang mengeluarkan darah. Umi Asfi (mba ku), terakhir mengabarkan kalau SIti sudah parah sakitnya, bahkan dia sudah meminta kedua orangtuanya untuk menemuinya dirumah mertua, khawatir tidak ada umur lagi.

Wah, ku seperti dibangunkan mendadak hingga ku terkaget mendengarnya. Ku coba hampiri rumah ibunya, ku bertanya secara langsung bagaimana kondisinya, kebetulan, Hendra ada di rumah Enggal, jadi ku bias mengetahui secara langsung dari mulut suaminya.

Baru kali itu ku menatap wajah lekat Hendra.. ku baru menyadari dibalik fisiknya yang legam lagi berotot itu, ternyata Hendra adalah suami yang lemah dalam melindungi istrinya Siti. Hendra sepertinya kebingungan bagaimana membantu pengobatan Siti yang sudah sekian hari tergeletak sakit. Bahkan saking bingungnya, Hendra berhenti sementara waktu dari pekerjaannya tapi di satu sisi, pikirannya tidak sampai untuk mengupayakan penyembuhan istri yang telah melahirkan anaknya. “Gimana mau kerja mba, Siti nya sakit ga sembuh-sembuh gitu,” kata Hendra.

Hendra lemah dalam mengambil keputusan dirawat di rumah sakit kah atau tidak? Kelemahan itu juga tampak dari 9 saudara kandung Siti lainnya. Yang mereka ketahui, setiap akan di rawat di rumah sakit pasti aka nada biaya yang harus dikeluarkan. Jangankan biaya rawat inap di rumah sakit, makan sehari-hari saja mereka susah.

Bukan bermaksud ingin menjelek-jelekan tetangga sendiri, tapi mungkin baru kali inilah aku menemui keluarga yang aneh. Keluarga ini gambaran kasarnya begini (maaf) sudah miskin, bodoh, malas bergerak dan tidak pedulian lagi.

Berkali-kali sudah ku jelaskan bahwa sebenarnya ada program jamkesmas dan jamkesmasda dari pemerintah, dijamin sepeserpun dalam pengobatan itu tidak di pungut biaya. Tapi sungguh mereka tidak menyambut antusias informasi yang ku sampaikan, yang ada ku hanya diperdengarkan dengan keluh-kesah mereka yang tidak ada inilah-itulah.. terlalu banyak pertimbangan hingga sakit Siti tak juga terobati.

Alhamdulillah, aku punya keluarga yang selalu mendukung langkah-langkahku, adikku, Zul orang yang paling setia menjadi ojek selama mengurus administrasi untuk mendapatkan jamkesmasda, meskipun jujur, awalnya ibuku juga ngomel. “Untuk apalah kau urusi orang itu, dia itu kan banyak sodaranya, satupun tak ada yang peduli. Urusi saja kuliahmu itu yang belum juga selesai sampai sekarang,” kata ibuku mengomeli ku. Memang tidak ada yang salah apa yang disampaikan ibuku itu, bukan yang pertama kami tetangganya membantu mengurus pengobatan gratisnya. Dan, sungguh, mereka tak kunjung cerdas menyelesaikan masalahnya sendiri, hingga diperlukan campur-tangan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya.

Tapi lagi-lagi ku hanya bias meyakinkan ibuku. “Bunda, kalau kita menolong orang Insya Allah, Allah akan menolong saat kita dalam kesulitan, yakinlah.. aku si, Cuma ga mau liat tetangga kita mati sebelum ajalnya dating karena ketidaktahuannya gimana mendapatkan haknya,” jawabku.

Saat tulisan itu ku buat, Alhamdulillah ku benar-benar telah menutaskan kewajibanku sebagai tetangga, semua berkas yang dibutuhkan untuk mendapatkan jaminan bebas biaya rawat inap pun sudah ku serahkan pada Hendra. Siti pun di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bandar Lampung. Diagnose awal, dia menderita TB Paru. Kemungkinan pemicunya adalah pikiran atas derita nasib miskin yang tak kunjung lepas dari kehidupannya, kemungkinan lain, Siti tertular dari emaknya yang juga menderita TB paru yang sampai saat ini belum terobati secara medis. (Aku tidak tahu lagi mau bagaimana).[]