ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Monday, January 4, 2010

Cerita Suka-Duka Guru Honorer

Kerudung kaus yang membalut kepala serta terjulur hingga ke dada, membuat penampilan wanita usia 30 tahun ini terlihat indah. Aura keibuan terpancar dari sosok wanita yang bernama Nur Emah. Kesehariannya bekerja sebagai guru honorer di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al-Sakinah, Enggal, Bandar Lampung.

Kecintaan Emah terhadap anak-anak tidak membuatnya surut menjadi sang pendidik. Mengenalkan nama benda, mengenalkan huruf serta angka bahkan mengenalkan bagaimana berprilaku yang baik pada anak didik, itulah yang menjadi amanahnya sebagai seorang guru anak pra sekolah.

Dituntut kesabaran serta ketekunan untuk bisa mencetak cikal bakal pemimpin negeri ini. Pemimpin yang kelak menjadi tauladan dimasanya mendatang. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, butuh totalitas yang pengajar, baik dari segi waktu dan tenaga yang dimilikinya.

Sementara disatu pihak, Emah adalah seorang istri dari Muhammad Budi yang bekerja sebagai seorang pelukis. Dalam satu minggu, belum tentu ada yang memesan lukisan karyanya. Untuk itu, demi keberlangsungan hidup yang standar, Emah mencari pekerjaan sampingan sebagai guru ngaji keliling, dari rumah satu ke rumah lainnya.

Gajinya sebagai guru honor PAUD sebesar Rp 100 ribu per bulan, tidak bisa menutupi kebutuhan pangannya sehari-hari. ”Syukurlah, ilmu mengaji yang saya punya bisa bermanfaat buat orang lain, bahkan bisa membuat dapur saya ngebul,” kata Emah sambil tertawa.

Sebelum mengajar di PAUD Sakinah, Emah pernah punya pengalaman mengajar di TK Trisula II, Rawa Laut, Bandar Lampung, sebagai tenaga honorer. Sekitar tujuh tahun dia mengabdi di sana dan memutuskan untuk tarik diri pada tahun 2006, karena melihat kondisi yang tidak kondusif lagi untuk diteruskan mengajar di sana.

Gaji satu bulan pertama yang didapatnya Rp 50 ribu. Itu sudah termasuk transport pergi-pulang dan biaya sarapan pagi. Kemudian bulan ke dua sampai 3 tahun ia mengajar, honornya mulai naik menjadi Rp 60 ribu. Tahun ke empat sampai tahun ke tujuh, Emah kembali menerima kenaikan honor dari yayasan sebesar Rp 150 ribu per bulan. Bahkan karena pengambdiannya, Emah juga ikut merasakan insentif dari pemerintah per semester Rp 600 ribu.

”Untung rumah saya tidak begitu jauh dari sekolah, sekitar 1,5 kilometer dari rumah. Jadinya kalau pulang saya sering berjalan kaki, supaya tidak boros pengeluaran,” tutur Emah.

Selama ia bekerja di sana, tidak cukup hanya sebagai tenaga pengajar saja. pemenuhan kebutuhanperlengkapan proses belajar mengajar, pembayaran rekening listrik serta telephone dan kebutuhan lainnya, juga menjadi tanggung jawab Emah seorang. Bahkan tidak jarang, Emah diperlakukan seperti pembantu rumah tangga oleh rekan seniornya yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Terkadang, ia juga harus membawa pulang pekerjaan yang belum terselesaikan di sekolah.

Lebih dari 8 jam waktunya tersita untuk sekolah yang hanya membayarnya Rp 150 ribu. Sama sekali dirinya tidak pernah komplein apalagi sampai minta kenaikan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum regional (UMR). Sementara di sisi lain, Emah juga ketika dirinya masih lajang, ia juga bagian dari tulang punggung keluarganya. Ayah dan ibunya sudah tua bahkan sakit-sakitan, sementara ia juga masih punya dua orang adik yang harus dibantu biaya pendidikannya.

Namun demikian, Emah tetap bisa mengajar, melayani dan tersenyum serta bermain dengan sepenuh hati pada anak didiknya. ”Anak-anak yang membuat saya merasa melupakan dengan tumpukan pekerjan yang melelahkan,” ujar dia.

Itulah sekelumit cerita sang guru honorer yang tidak diperlakukan selaiknya manusia. Hidupnya begitu keras. Namun karena kecintaannya pada dunia pendidikan, ia tetap bertahan di sana. Mungkin permasalah Emah hanya segelintir yang muncul dipermukaan, di belahan sana, masih ada Emah-Emah yang sama.
**
Setelah mengenal Nur Emah, sekarang kita beralih pada sosok guru honorer lainnya. Wanita ini dikatakan cukup tangguh dan gigih memperjuangkan nasib dirinya dan 6 ribu guru honorer lainnya di Kota Bandar Lampung, untuk disetarakan dengan pegawai negeri sipil.

Tidak tanggung-tanggung, perjuangan yang dilakukannya kini sudah sampai tingkat pemerintah pusat. Kesungguhan itu terpancar dari mata guru yang telah mengabdi selama 21 tahun di SDN 1 Way laga, Panjang.Yah, wanita ini bernama Sri Sumarni.

Kini usianya telah memasuki usia 46 tahun. Pengabdiannya hingga 21 tahun, belum juga membuahkan hasil yang membanggakan buat kehidupan masa tuanya alias belum juga diangkat sebagai guru tetap.

Sri bernasib sama dengan tenaga honorer lainnya di Kota Bandar Lampung. Menerima insentif Rp 600 ribu per semester, yang kabarnya insentif itu akan ditiadakan dengan alasan alokasi dana pemerintah tahun 2010 tidak mencukupi untuk membayar tenaga honorer yang ada.

Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 48 tahun 2005, tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil, pasal 6 mengatakan, pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS berdasarkan peraturan pemerintah dilakukan mulai tahun anggaran 2005 dan paling lambat tahun anggaran 2009, dengan prioritas tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai APBN dan APBD.

Kemudian dipertergas dalam pasal 2, tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai APBN dan APBD.

Atas dasar pasal tersebut Sri, yang merasa telah mengabdi lebih dari 20 tahun segera mengurus persyarakat administrasi yang dibutuhkan untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS. Namun sayang, setelah persyaratan tersebut selesai lalu diajukan, justru Sri mendapat penolakan dari instansi terkait dengan alasan kendala usia yang telah melebihi batas maksimum dan harus mendapatkan SK dari pemerintah setempat.

Sri mengatakan, PP tersebut turun sejak tahun 2005, kala itu menurutnya, seluruh tenaga honorer belum satu pun mendapatkan SK dari walikota. Faktor lain yang menunda Sri menjadi PNS adalah revisi PP 48 tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, pasal 4 ayat 1 yang berbunyi tenaga honorer yang mempunyai masa kerja lebih banyak menjadi prioritas pertama untuk diangkat menjadi PNS. Dalam hal ini yang mempunyai masa kerja sama. Tetapi jumlah tenaga honorer melebihi lowongan formasi yang trsedia. Maka prioritas pengangkatan honorer berusia lebih tinggi. Usianya menjelang 46 tahun, maka yang bersangkutan menjadi prioritas pertama. Atau dalam pengertiannya menjelang usia 46 tahun, yaitu apabila dalam tahun anggaran (2005-2009) berjalan tidak diangkat menjadi PNS, maka untuk tahun anggaran berikutnya menjadi tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS karena telah berusia lebih dari 46 tahun.

”Sampai di sana, saya merasa tahu diri. Saya berhenti mengurus segala perlengkapan menjadi PNS,” kata Sri. Saat Sri beserta rekan sekangkatanya berhenti perjuangkan nasib menjadi PNS, justru honorer usia senior di kejutkan dengan surat edaran pengangkatan kembali pekerja Pekerja Harian Lepas (PHL) di lingkungan pemerintah, tertanggal 10 Desember 2009.

Untuk itu Sri beserta tenaga honorer lainnya yang tergabung dalam Persatuan Guru Honorer Murni (PGHM), mengadukan nasibnya pada Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung. ”Sesungguhnya baik anggota dewan dan dinas terkait, sudah berupaya membantu perjuangkan nasib kami, namun mereka juga terkendala dengan PP,” tutur Sri.

Bukan permasalahan jumlah insentifnya, tapi Sri dan rekan lainnya hanya ingin diperlakukan selaiknya manusia. Pendidik yang bisa mencerdasan anak bangsa. ”Ntahlah, pada siapa lagi kami mengadu,” keluh Sri.

Biarpun persoalan pengangkatan terus berkemelut, Sri tetap memberikan pendidikan seomptimalnya. Hal yang paling menyenangkan dalam hatinya, manakala ia melihat anak didiknya menjadi orang yang berhasil. ”Artinya saya masih punya nilai manfaat bagi generasi bangsa ini, biarpun saya tidak jadi PNS,” pungkasnya.

0 komentar: