ani muslihah. Powered by Blogger.

Archives

kolom komentar


ShoutMix chat widget

Search This Blog

rss

Saturday, December 13, 2008

Cerita di Balik Pelatihan Condev

Sudah lama tidak menulis, rasanya kaku juga tangan dan kepala ini. Hendak di mulai dari mana, mesti meraba-raba lagi. Tapi saya yakin, dari tulisan yang sederhana ini akan menginspirasikan saya untuk kembali giat menulis.

Jadi ceritanya begini. Sekitar seminggu lalu, tepatnya tanggal berapa saya juga udah lupa. Saya, Mardiati, Erna dan Hikmah mengikuti pelatihan community development (Cindev) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Mandiri jejaringnya Dompet Dhuafa. Ga’ perlu saya jelaskan lagi ya DD itu apa. Yang jelas lembaga ini merupakan lembaga zakat yang memiliki misi untuk menyalurkan zakat kepada mustahik. Cakepnya lagi lembaga ini tidak hanya menyalurkan zakat saja, tetapi juga melakukan pemberdayaan sehingga ke depan mustahik ini mandiri dan pada akhirnya, menjadi orang yang pantas mengeluarkan zakat.

Oya, pelatihan ini berlangsung selama lima hari. Pesertanya dari jejaring DD se-Jabodetabek dan dua utusan daerah lain seperti Bengkulu dan Lampung. Kami, utusan dari Lampung bukan mewakili jejaringnya DD tetapi dari LSM lain. Kalau Mardiati dan Hikmah dari GAPURA, Erna dari Lampung Herbal Community (LHC) dan saya sendiri mewakili LSM yang baru aja tiga hari sebelumnya disahkan dan mendapatkan dukungan dana dari pemerintah Kota Bandar Lampung yakni LPKP (Lembaga Pemberdayaan dan Keterampilan Perempuan) Bandarlampung.

Jadi temen-temen, setelah mengikuti pelatihan itu, kita baru ngeh deh, ternyata, pengelolaan LSM maupun organisasi yang selama ini saya dan temen-temen berkecimpung didalamnya, masih jauh dari kata ideal dan professional. Selama ini, menegemen yang kita bangun dalam organisasi kita adalah managemen logistic bukan managemen program.

Kita selalu terorientasi pada waktu bukan hasil. Segala sesuatu yang direncanakan yang terpenting terlaksana tanpa memperhatikan bagaimana rencana yang dilakukan punya nilai manfaat bagi masyarakat. Nah, yang bikin kita makin terbengong-bengong, justru yang menerapkan managemen program ini adalah LSM atau NGO yang afiliasinya ke sayap kiri. Sementara kita, yang orientasinya dawah, justru bekerja secara grubuk-grubuk. Saat di evaluasi targetannya memang tercapai, tapi hasilnya tidak maksimal. Uniknya lagi, kebiasaan saya dan teman-teman di organisasi saya, justru tidak pernah belajar dari kesalahan kemarin dan jenderung mengulang dan mengulang terus. Akhirnya, setiap ada kegiatan walhasil selalu kecebur di lubang yang sama. Yah, namanya juga masih belajar. Otodidak lagi. Ya gini deh hasilnya.

Perlu temen-temen ketahui, proposal sebuah lembaga atau kegiatan yang selama ini kita buat juga sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan bantuan. Tapi sekali lagi, semua itu terjadi karena sebagian besar pengelola lembaga dan funding juga tidak semuanya tau bagaimana sebenarnya proposal yang baik itu.

Karena saya juga baru, saya mau temen-temen juga ikut merasakan apa yang saya tau. Jadi, menurut pengalaman temen-temen DD sebuah proposal lembaga yang ideal itu, harus melalu beberapa tahapan. Diawali dari mengindentifikasi masalah untuk mengetahui secara detil gambaran dan permasalahan sebuah daerah yang akan kita bidik. Dilanjutkan dengan membuat pohon masalah dan pohon tujuan, terakhir membuat matrik perencanaan program (MPP).

Proses identifikasi masalah biar ga’ bingung maka lebih enaknya kita gunakan PRA (Participatory Rurel Aprraisal. PRA ini merupakan metodologi pendekatan partisipatif. Sedikitnya ada 12 tools PRA, diataranya; village history,trend and change, kalender muslim, sketch map, transek, sektsa kebun, diagram venn, kalender harian, low diagram, matrix ranking, pleno desa dan lainnya. Tapi tenang, tidak semua tools PRA itu digunakan. Disesuaikanlah dengan iklim kedaerahan dan bidang yang akan kita bidik.

*
Oya temen-temen. Ada cerita menarik selama ikut pelatihan. Lembaga Pendidikan Islam (LPI) tempat kami menginap, kami satu kamar dengan orang Sulawesi, tepatnya ia tinggal di Way Tangko. Namanya Nurhalimah, usianya sama dengan saya bedanya Halimah udah punya anak satu. Nurhalimah tinggal di daerah pedalaman, ajuh dari transportasi dan informasi. Kata Halimah, untuk keluar dari daerahnya membutuhkan waktu satu hari itu pun jalan kaki.

Halimah tidak lancer berbahasa Indonesia, berbicaranya selalu tersendat-sendat dan dia suka agak kesulitan mencerna kata-kata yang kami sampaikan saat mengobrol dengannya. Uniknya lagi, Halimah dan warga masyarakat di sana tidak pernah tahu siapa presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Bahkan, nama orang tua, adik beradiknya saja ia tidak tahu. Menurut kebiasaan orang sana, menanyakan nama satu hal yang dianggap tidak sopan (Tapi kalo nama presiden emang bener-bener ga’ tau dia).

Kehadiran Nur Halimah ke Bogor dalam rangka studi banding ke pabrik pengelola sawit. Keberadaannya di bawa oleh NGO Merah Putih. Sebuah lembaga pemberdayaan yang sangat peduli terhadap kemajuan tarap hidup masyarakat pedalaman.

Eh, udah dulu ya…kepanjangan ceritanya. Lain kali kita sambung dalam topic cerita yang berbeda. Terima kasih udah mau baca. Plis dikomentari.thx[]

0 komentar: